=> Pertanian Tradisional
A. Fungsi Ekologi
1. Pengolahan Tanah: Bercocok tanam pada pertanian tradisional dilakukan
pada lahan tegalan atau sawah tadah hujan. Pengolahan tanah
sangat sederhana. Pengolahan tanah dilakukan dengan cangkul dan
alat pertanian lain yang sederhana. Setelah diolah tanah diberi pupuk
dari jerami yang dibakar ditempat.Bila dibutuhkan pengairan, pengairan didapat
dari aliran sungai yang dialirkan ke sawah atau dari tadah hujan (Depdikbud,
1989).
2. Pemeliharaan Tanaman: Dalam bercocok tanam disawah,
pekerjaan memelihara tanaman merupakan pekerjaan yang paling
ringan karena petani jarang ke sawah. Gangguan
gulma yang ada diselesaikan dengan cara penyiangan. Untuk
tanaman palawija, jagung, kacang, tomat, tembakau, dan lain sebagainya memiliki
cara pemeliharaan yang bervariasi. Secara umum petani menggemburkan tanah
dengan cangkul sehingga gulma yang ada menjadi tertimbun tanah yang
digemburkan dan mati (Depdikbud, 1989).
B. Fungsi Ekonomi:
1. Pemanenan dan Pendistribusian Hasil Panen:
Pada pertanian konvensional, petani menjual hasil panen
secara langsung ke pasar atau kepada tengkulak. Lingkup
cakupan ekonomi masih terbilang kecil sehingga meminimalisir
adanya kegiatan monopoli. Petani yang menjual hasil panennya kepada
tengkulak, tengkulak tidak membayar secara langsung
atau lunas, akan tetapi ada bagian kekurangannya dan
pelunasannya sesuai dengan perjanjian bersama (Depdikbud, 1989).
C. Fungsi Sosial:
1. Sistem Kepercayaan dan Agama: Pada pertanian tradisional, pada
umumnya petani masih percaya dengan adanya Dewi
Sri. Diantara para petani sehabis menanampadi salalu
diadakan penghormatan pada Dewi Sri. Penghormatan ini
dilakukan dalam bentuk sesaji. Proses penghormatan dengan sesaji ini
hanya memberi sesaji pada ujung-ujung sawah. Sesaji dapat berupa tanaman
palawija, bunga, atau jenang (Depdikbud, 1989).
2. Pengaruh Keluarga: Pada petani
tradisional, pengaruh keluarga sangat besar. Hal
tersebut dikarenakan berbagai macam usaha tani
dilakukan dengan keluarga sehingga berbagai pekerjaan
dibagi antara keluarga. Petani melakukan praktek
kegiatan pertanian secara turun temurun, sehingga ilmu yang
didapat berasal dari orang tua atau leluhurnya (Soetriono, 2006).
3. Lembaga Pertanian: Pada pertanian tradisional,
lembaga pertanian jarang ditemukan. Hal tersebut
berimplikasi pada keputusan mengenai hal pertanian masih dilakukan
secara perorangan. Meskipun begitu, anggota masyarakat selalu
hidup bergotong royong, oleh karena itu, para petani
enggan berbuat hal yang merusak kebersamaan mereka. Petani selalu
memerlukan pesertujuan masyarakat di mana ia hidup. Kepercayaan masyarakat
terhadap nilai dan tradisi diketahui dan dihormati
(Soetriono, 2006).
=> Pertanian Konvensional
A. Fungsi Ekologi
1. Metode Aplikasi Pestisida: Didalam teknik budidaya tanaman
konvensional, penggunaan pestisida menjadi kunci utama dalam memberantas hama.
Pada pertanian konvensional di Indonesia sendiri, penggunaan pestisida sangat
dianjurkan. Hal tersebut terbukti dari adanya peraturan Pemerintah No.
7/1973 mengenai definisi pestisida dan fungsinya. Pestisida pada
pertanian konvensional umumnya adalah bahan kimia yang digunakan untuk
mengendalikan OPT. Pertaian konvensional telah memahami mengenai bahaya
konvensional bagi konsumen, pengguna, dan bagi lingkungan (Djojosumarto, 2000).
Metode aplikasi pestisida dalam pertaian di
Indonesia secara umum dilakukan dengan cara spraying (penyemprotan),
fogging (pengapasan), dusting (pengehembusan), perawatan benih, dipping
(pencelupan), fumigation, Injection (suntikan), dan drenching (penyiraman).
Dari cara-cara tersebut, petani konvensional Indonesia sering menggunakan
teknik spraying. Diperkirakan, 75% penggunaan pestisida dilakukan dengan cara
disemprotkan dari udara. Bentuk formulasi pestisida yang diaplikasikan
dengancara disemprotkan meliputi WP, EC, EW, WSC, SP, FW, WDG (Djojosumarto,
2000).
Pada pertaian konvensional di Indonesia, penggunaan
pestisida telah mengalami beberapa kejadian yang merugikan, diantaranya adalah
meningkatnya serangan hama tertentu setelah pengaplikasian insektisida
pada padi. Selain itu, munculnya ledakan hama sekunder berupa hama ganjur
sesudah penyemprotan intensif dengan fosfamidon untuk
mengendalikan hama penggerek padi di daerah pantai Utara jawa Barat pada tahun
1960/1970 (Djojosumarto, 2000).
3. Praktek Penebangan Hutan: Pertanian konvensional mulai dikenal
di Indonesia ketika VOC menguasai nusantara. Orang Belanda
mengusahakan perkebunan sendiri dengan memilih tanah-tanah yang paling baik
bagi perkebunannya. Cara untuk mendapatkan tanah yang baik adalah menggunakan cara
penggundulan hutan dan menjadikan hutan untuk pertanian konvensional
monokultur seperti teh, tembakau,coklat, dan kopi. Akibat dari hal ini adalah
rusaknya kesetabilan alam dan lingkungan secara ekologi (Kartasapoetra et.
al., 1985).
4. Praktek Ladang Berpindah: Pada zaman kolonial, masyarakat
pribumi sering menggunakan praktek ladang berpindah. Praktek tersebut sering
dilakukan didaerah luar Jawa. Para petani kecil membuka lahan dengan
membakar hutan. Tanah baru tersebut ditananami padi huma, ubi kayu, dan beberapa
tanaman pangan lain. Setelah 2 atau 3 kali panen, produktiifita lahan menurun,
sehingga mereka berpindah ke hutan lain untuk melakukan praktek yang sama.
Tanah atau lahan yang ditinggalkan itu dibiarkan begitu saja sehingga
dikuasai oleh tanaman Imperata cylindrica atau alang-alang. Cara ladang
tersebut secarajelasdapat menimbulkan kerusakan tanah (Kartasapoetra et. al.,
1985).
5. Pencegahan Erosi Secara Kimiawi: Yang dimaksud pencegahan erosi
secara kimiawi adalah menggunakan pemanfaatan soil conditioner,
atau bahan pemantap tanah dalam hal memperbaiki struktur tanah
sehingga tanah akan menjaditetap resisten terhadap erosi. Menurut M. De Boodth
dalam Use on Soil ConditionersbAround The World, (1975), pemantapan tanah
dengan bahan pemantap ialah pembentukan struktur tanah dengan pori atau ruang
udara di dalam tanah di antara agregat yang sekaligus mencapai kestabilan
menggunakan bahan buatan (Kartasapoetra et. al., 1985).
Salah satu bahan pemantap tanah secara buatan adalah
menggunakan emulis bitumen. Emulsi bitumen merupakan bahan pemantap tanah
berbentuk cairan. Beberapa bahan pemantap tanah lainnya yang berupa cairan
adalah polyurethane, polyacrylamide, polyacrylacid, dan lain-lain. Salah
satu cara pengaplikasiannya adalah dengan pemakaian di permukaan tanah (surface
application). Cara tersebut adalah cara dimana larutan atau emulsi zat
kimia pemantap tanah dilakukan dengan cara disemprotakan ke permukaan tanah
(Kartasapoetra et. al., 1985).
6. Penggunaan Teknologi: Sejalan dengan kemajuan teknologi,
pertanian konvensional telah merubah wajah pertanian
tradisional. Pada tahun 1960-1970, petani talah
diperkenalkan dengan Panca Usaha Tani. Secara
umum, dengan adanya Panca Usaha Tani, pengolahan sawah
dan lahan pertanian terlihat lebih sistematis dan
menggunakan teknologi bermesin (Depdikbud, 1989).
B. Fungsi Ekonomi
1. Pertanian Masal: Ketika Indonesia menggunakan sistem pertanian
konvensional, pada tahun1965 terjadi kemrosotan harga karet dunia. Dikarenakan
Indonesia tidak mendiversifikasi jenis tanaman yang dibudidayakan,
akibatnya Indonesia tidak mampu menangani pasar dan perusahaan karet dan petani
karet mengalami kerugian (Kartasapoetra et. al., 1985).
C. Fungsi Sosial
1. Organisasi Penyuluh Pertanian: Pada masa pertanian konvensional
sedang marak terjadi, di Indonesia terjadi berbagai terobosan baru
yang dilakukan, diantaranya adalh adanya organisasi penyuluh pertanian.
Organisasi tersebut bersistem piramida dengan dasar yangluas di tingkat
desa. Hal tersebut tercantum dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri Tanggal 29
Januari 1961 No. Per. 72/1/30 (IPB, 2002).
2. Program BIMAS: Pertanian konvensional dikenal juga dengan pertanian
massal. Disebut pertanian massal karena pertanian konvensional secara fungsi
sosial menggunakan banyak elemen masyarakat untuk suksesinya. Program
BIMAS diawali dengan kegiatan Demonstrasi Masal oleh IPB di Karawang pada
1964/65-1965/1966, sejak 1966 pemerintah menetapkan kebi-jakan Bimbingan Masal
(BIMAS). Dalam organisasi BIMAS tersebut Perguruan Tinggi terlibat secara
aktif, meskipun keberadaan mahasiswa sebagai tenaga penyuluh bersifat sementara
(selama satu musim). Program BIMAS yang terkenal adalah KUD atau Koperasi
Unit Desa, Lembaga Kredit (BRI Unit Desa), PPL atau Penyuluh Pertanian
Lapang, sistem kerja Latihan dan Kunjungan (LAKU) atau Training and Visit (TV).
Ada kejelasan tugas penyuluh pertanian (PPL, PPM, dan PPS) sebagai tenaga
fungsional yang hanya dibebani tugas penyuluhan dan dibebaskan dari tugas-tugas
sampiran yang semestinya menjadi beban tugas aparat struktural. Dengan adanya
program BIMAS, secara tidak langsung meningkatkan kualitas SDM
Indonesia untuk terlatih dan meningkatkan interaksi sosial antar
masyarakat petani dan masyarakat sipil (IPB, 2002).
=> Pertanian Berkelanjutan
A. Fungsi Ekologi
1. Pengendalian Hama Alami: Pada pertanian berkelanjutan, salah
satu cara untuk mengendalikan hama adalah dengan cara metode mengimpor
musuh alami hama tertentu. Metode ini dikenal sekitar 1 abad laludi California.
Di sana serangga bersisik (Icerya purchasi) dibasmi mengggunakan
serangga jenis kumbang (Rodolia cardinalis). Kumbang Rodolia
cardinalistelah berhasil memberantas hama serangga bersisik di berbagai
belaahan dunia (Espig, 1988).
Selain itu, contoh pengendalian hama menggunakan
pemangsa alami juga terjadi pada kumbang badak atau dikenal dengan Oryctes
rhonoceros. Kumbang badak diberantas dengan virus yang bersifat patogen (Espig,
1988).
2. Pestisida Alami: Pestisida alami sangat penting bagi pertanian
berkelanjutan. Pestisida alami mengandung senyawa kimia alami yang dapat
mengusir hama tanaman budidaya. Contohnya adalah: ekstrak biji daun nimba (Azadirachta
indica); ekstrak biji bunga krisan (Chrysanthemum cinerariifolium)
efektif mengendalikan semut, aphid, ulat, dan kutu daun; ekstrak biji
bawang putih (Allium sativum) efektif mengendalikan serangan
aphid, ekstrak daun paitan (Tithonia diversifolia) efektif
mengendalikan serangan rayap, bakteri Bacillus thuringiensis
efektif mengendalikan ulat Plutella xylostella dan Crocidolomia
binotalis; cendawan Trichoderma sp. dapat menekan serangan Fusarium
sp. Rhizoctonia sp., dan Phythium sp. terhadap
tanaman hortikultura (Zulkarnaen, 2009).
3. Agroforestri: Pada pertanian berkelanjutan, salah satu pola tanam
yang digunakan adalah menggunakan pola tanam berbasis agroforestri. Pola tanam
ini secara umum adalah pola tanam yang memadukan integrasi pohon hutan dengan
ladang. Fungsi ekologi pohon hutan dapat memberi manfaat berupa pengangkutan
unsur hara, penambatan nitrogen, kenaikan bahan organik tanah, perbaikan
strutuktur tanah, dan pengendalian erosi. Pohon dapat mengembangkan
sistem perakaran yang jauh lebih dalam dari tanaman musiman, sehingga
pohon dapat menyerap unsur hara yang tidak diserap oleh tanaman budidaya. Unsur
hara yang didapat oleh pohon hutan dibawa kembali kedalam
daur biologi kedalam kayu pohon, daun, serta buah pohon. Salah satu pohon yang
memiliki biomasa terbesar adalah lamtoro. Penaman pohon lamtoro dalam
sistem agroforestri dapat memberikan dampak positif bagi sistem pertanian
berkelanjutan (Espig, 1988).
4. Skema Suksesi: Pada pertanian berkelanjutan, salah satu pola
bertanamnya adalah meniru suksesi hutan. Metode suksesi biasanya dilakukan pada
lahan yang keanekaragamanhayatinya kurang. Konsepnya adalah petani menanam
suatu tanaman, kemudian tanaman tersebut tidak dipanen secara total dan
membiarkan tanaman budidaya di tumbuhi ilalang dan semak belukar. Dengan adanya
metode suksesi, keanekaragaman hayati akan bertambah, sehingga konsep
keberlanjutan akan dapat diwujudkan (Sutejo, 1987).
5. Keanekaragaman Tanaman: Ciri
umum dari pertanian berkelanjutan adalah keanekaragaman
tanaman. Bahkan sistem yang berorientasi pasar pun akan menghasilkan beberapa
produk. Salah satu sistem pertanian berkelanjutan yang berorientasi pasar
adalah sistem pertanian drip di Meksiko. Dalam banyak hal, mencampurkan
tanaman akan meningkatkan pertumbuhan, bukan menghalanginya.
Penggunaan kacang-kacangan sebagai tanaman sela akan
meningkatkan kesuburan tanah. Di Tomo Acu misalnya, petani
menggunakan pohon pengikat nitrogen sebagai pengganti tiang
untuk tanaman merica yang merambat.Dengan berbagai jenis tanaman
yang ditanam, hal ini akan menghindari kekurangan pangan karena
beragamnya tanaman yang akan dipanen (Sutejo, 1987).
6. Rotasi Tanaman: Salah satu metode pertanian berkelanjutan adalah
menerapkan sistem rotasi tanam. Rotasi tanam dapat meningkatkan kandungan bahan
mineral tanah. Rotasi tanam yang disarankan adalah Rhizobium, Phaseolus
sp, dan lain lain. Hal tersebut karena kedua jenis tanaman tersebut
dapat menimbun N (Sutejo, 1987).
7. Sistem Pengolahan Minimal: Pertanian berkelanjutan juga
menggunakan metode sistem pengolahan minimal. Pada tanah yang memiliki
top soil tipis, atau pada tanah yang kemiringannya curam, sebisa mungkin
mengolah tanah secara minimal untuk pengembalian atau peningkatan unsur
hara (Sutejo, 1987).
8. Daur Ulang Zat Hara: Daur ulang zat hara didaerah
tropika berlangsung cepat dan efisien. Kebanyakan hara terikat pada
vegetasi hidup. Ketika vegetasi hidup itu mati, zat hara akan di urai
oleh mikroba dan zathara tersebut dapat
digunakan oleh tanamanan. Pada konsep pertanian
berkelanjutan, hara di lahan pertanian lebih banyak karena terdapat
pola daur ulang hara dari tumbuhan yang
telah mati lalu dibiarkan. Dengan hara yang lebih
banyak, lahan dapat ditanami secara lebih intensif tanpa merusak
kesuburan lahan pertanian (Gradwohl dan Greenberg, 1991).
9. Pengembalian Sisa Tanam: Salah
satu metode pertanian berkelanjutan adalah pengembalian sisa tanaman.
Pengembalian sisa-sisa tanaman dari musim panen pada tanah sedapat
mungkin harus dilakukan. Dengan teknik pengembalian sisa tanaman pada
tanah, sisa tanaman akakn cepat terombak melalui penguraianoleh jasad renik
sehingga akan menjadi bahan organik tanah. Adanya bahan organik tanah akan
meningkatkan kualitas tanah, sehingga tanaman budidaya akan tumbuh lebih
baik (Sutejo, 1987).
10. Penggunaan Pupuk Organik: Pupuk oraganik selalu digunakan pada
sistem pertanian berkelanjutan. Pupuk organik berasal dari serasah
tumbuhan atau sisa hewan yang telah mati. Pupuk organik harus memiliki
beberapa persyaratan yaitu: N harus mudah diserap oleh tanaman dalam
bentuk organik, pupuk tidak meninggalkan asam organik dalam
tanah, Pupuk sebaiknyamemiliki kandungan C yang tinggi seperti hidrat arang.
Pupuk organik memiliki peran penting untuk menggemburkan lapisan top
soil. Pupuk organik dapat meningkatkan pertumbuhan jasad renik yang baik
untuk kesuburan tanah. Walaupun demikian, pupuk organik tidak bis diandalkan karenakandungan
mineralnya sedikit (Sutejo, 1987).
11. Menggunakan Pupuk Hijau: Pupuk hijau diperlukan dalam sistem
pertanian berkelanjutan. Pupuk hijau didapat dengan menggunakan famili
leguminosa. Tanaman dari famili leguminosa digunakan karena banyak mengandung
N. Adanya N akan mendorong zat renik untuk menguraikannya. Dalam
hidupnya, zat renik membutuhkan N untuk hidup. Kandungan N yang
tinggi (perbandingan C/N besar) melebihi tersedianya N yang diperlukan jasad
renik, kelebihannya ini dimanfaatkan tanaman bagi peningkatan pertumbuhan dan
perkembangannya (Sutejo, 1987).
12. Penggunaan Bioteknologi Tanah: Pada pertanian berkelajutan,
penggunaan biologi tanah cukup menjanjikan. Dengan menggunakan
bioteknolgi tanah, penggunaan pupuk buatan akan dapat dikurangi juga
meningkatkan efisiensi input (Zulkarnaen, 2009). Contoh
bioteknologi tanah adalah:
- Legin
dan Rhizogin: Penggunaan Legin dan Rhizogin yang mampu mengurangi
penggunaan pupuk Urea sebesar 50-75%
- Azolla:
Penggunaan Azolla padapadi sawah dapat menghemat pemakaian Urea
hingga50%
- Azotobacter:Inokulassibakteri
Azotobacter pada area pertanian biji-bijian mampu menekan penggunaan
urea antara 60-70 kg ha-1.
- Azoxpirilium.
Dengan inokulasi bakteri Azosprilium pemakaian urea dapat
dihemat antara 50-100 kg ha-1.
- Ganggang
Biru-hijau: Penggunaannya akan menghemat 100 kg ha-1 urea.
- Mikoriza:
Mikoriza dapat melarutkan fosfat, sehingga dapat menekan
penggunaan pupuk TSP antara 70-90%.
13. Metode Konsevasi Tanah: Pada pertanian berkelanjutan,
fungsi ekologi sangat diperhatikan. Salah satunya dengan cara menjaga kesuburan
tanah. Dalam konsep pertanian berkelanjutan dalam hal konservasi tanah, dikenal
sebuah istilah yaiutu using for immediate needs and saving for future
use yang artinya adalah bahwa dalam mengelola dan pengelolaan tanah,
dibutuhkan perhatian mengenai kebutuhan yang segera (sekarang) serta manfaatnya
yang akan datang bagi generasi penerusnya (Kartasapoetra et. al., 1985).
Cara pengkonversian tanah yang bisa dilakukan dalam sistem pertanian yang
berkelanjutan adalah:
- Berdaya
upaya agar permukaan tanah tetap tertutupi tanaman pelindung, sehingga
kandungan organiknya dapat dipertahankan.
- Pembuatan
sengkedan yang mengikuti kontur tanah agar tidak terjadi
erosi.
- Segala
tindakan atau perlakuan dalam melakukan pengolahan tanah seperti membajak,
menggaru, menyimpan bedengan pembibitan, dan lain-lain harus sejajar
dengan garis kontur tanah agar tidak terjadi erosi.
14. Metode Konservasi Air: Metode konservasi air dapat
dilakukan dengan sistem pengaturan jadwal irigasi, atau dengan cara yang lebih
mudah yaitu mengembangkan tanaman rerumputan yangg tidak mengganggu di
sela-sela tanaman budidaya yang dapat berfungsi ganda yang dapat mencegah erosi
serta menjadi makanan ternak (Kartasapoetra et. al., 1985).
Salah satu tanaman rumput yang digunakan adalah Cynodon
dactylon (bermuda grass), Pennisctum clanddestium (kikuyu grass),
dan Pueraria phaseolides (Tropical kudzu). Penggunaan tanaman
rumput diatas sangat beralasan karena tanaman rumput tersebut
dapat tumbuh dengan cepat sehingga dalam waktu pendek tanah
dapat tertutup pleh rumput tersebut. Rumput tersebut secara sistematis
berfungsi sebagai pelindung permukaan tanah dari
tumbukan butir-butir air hujan dan memperlabat
aliran permukaan, sedangkan bagian akar rumput dapat
memperkuat resistensi tanah dan membantu melancarkan
infiltrasi air kedalam tanah (Kartasapoetra et. al., 1985).
B. Fungsi Sosial
Pertanian berkelanjutan hadir sebagai salah satu jalan
pemutus mata rantai kemiskinan utamanya yang ada di pedesaan. Stabilitas
produksi yang terus meningkat dengan harga bahan hasil panen pertanian organik
yang tinggi mulai menjajikan input bagi pedesaan miskin. Selain itu, pertanian
berkelanjutan juga berkorelasi positif dengan peningkatan kesehatan masyarakat.
Hal ini karena produk pertanian yang dihasilkan memiliki sertifikasi aman
dimakan, baik dalam jangka waktu yang berkepanjangan, dan bebas pestisida,
serta persenyawaan sintetis lainnya.
Pertanian berkelanjutan juga telah berisi campur
tangan pemerintah dan para ahli lingkungan pertanian yang mulai tersadar untuk
hidup optimal, baik optimal secara ekonomi ataupun optimal dalam menjaga
lingkungan agar terus bisa hidup. Selain itu sumber daya manusia yang
digunakan sudah lebih dewasa, lebih terbuka sehingga lebih mengerti benar
tentang alam dan bagaimana merawatnya tanpa harus mengabaikan aktivitas ekonomi
usaha tani yang berorientasi profit. Pengetahuan didapatkan secara formal mauopun
nonformal dari sharing para penuluh lapang.
C. Fungsi Ekonomi
Pendapatan aktual yang dituai memang lebih rendah
ketimbang sistem pertanian yang lain hanya sajahal ini akan terus meningkat
seiring dengan meningkatnya laju perbaikan kualitas lahan-lahan. Sistem
permodalan yang digunakan harus bersumber dari dana pribadi, ataupun pinjaman
dari bank-bank negeri, koperasi pemerintahan ataupun lembaga penyedia jasa
kredit resmi lainnya. Hal ini untuk menghindari terselenggaranya praktek
pembungaan pinjaman yang salah. Selain itu diharapkan petani berkontribusi
aktif mengikuti asuransi sehingga ketika hasil yang dituai belum maksimal masih
tersedia uang untuk tetap betahan hidup. Daya saing ekonomis produk
konvensional lebih tinggi. Hal ini karena orientasi pasar yang dituju pertama
kali adalah konsumen tingkat atas yang mapan dalam hal membeli. Hasil panenan
akan lebih terjual mahal seiring dengan laju kesadaran masyarakat akan
pentingnya pangan organik sebagai salah satu produk dari pertanian
berkelanjutan.