TUGAS
TERSTRUKTUR
BUDIDAYA
TANAMAN PADA LAHAN MARGINAL
PENGELOLAAN TANAMAN
KEDELAI DI LAHAN KERING MASAM
Oleh:
Nama : Prisma Nurul Ilmiyati
NIM :
A1L014193
Kelas : C
KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN
PENDIDIKAN TINGGI
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS PERTANIAN
PURWOKERTO
2016
PENGELOLAAN TANAMAN KEDELAI DI LAHAN KERING MASAM
Tanah-tanah
marginal masam umumnya bereaksi masam dengan status Al tinggi, kapasitas tukar
kation dan kandungan unsur haranya rendah (Santoso, 1991; Mulyadi dan
Soepraptohardjo, 1975). Ciri-ciri umum tanah masam antara nilai pH tanah
rata-rata kurang dari 4, kandungan hara bahan organik tanah (BOT) yang rendah,
ketersediaan P dan kapasitas tukar kation (KTK) tanah rendah; tingginya kandungan
unsur Mn2+ dan aluminium reaktif (Al3+) yang dapat meracuni akar tanaman
dan menghambat pembentukan bintil akar tanaman legum. Distribusi perakaran tanaman
relatif dangkal, sehingga tanaman kurang tahan terhadap kekeringan dan banyak
terjadi pencucian hara ke lapisan bawah (Hairiah, et al., 2005). Menurut Hilman
(2005), pada lahan kering masam, masalah ketersediaan fosfat (P) menjadi kendala
utama dalam meningkatkan hasil.
Tanaman
kedelai memerlukan P lebih besar dibandingkan dengan komoditas lainnya seperti
gandum dan jagung. Cekaman kahat P biasanya terjadi pada fase awal pertumbuhan tanaman
yaitu akar-akar tanaman kurang berkembang sehingga tidak mampu menyediakan
seluruh kebutuhan P. Fosfor dapat diikat kuat oleh Al dan Fe pada tanahtanah masam
sehingga menjadi tidak tersedia bagi tanaman. Daun-daun tua pada kedelai yang kahat
P sering menampakkan warna ungu karena terjadinya akumulasi antosianin (pigmen ungu).
Masalah lain yang sering muncul di lapangan adalah toksisitas Al dan mangan (Mn)
serta kahat Ca. Kelarutan Al meningkat pada tanah bereaksi masam. Kelarutan Al
yang tinggi dapat meracuni tanaman kedelai. Tokisistas pada tanaman kedelai
ditandai dengan rusaknya (terganggunya) sistem perakaran. Berbeda dengan Al, toksisitas
Mn terjadi pada bagian atas tanaman. Pengecilan, pengeringan, dan karat daun
merupakan gejala toksisitas Mn pada kedelai. Selanjutnya Sumarno (2005) menyatakan
bahwa pertumbuhan tanaman kedelai pada tanah masam menderita akibat cekaman abiotik
dan biotik, seperti pertumbuhan vegetatif terhambat sebagai akibat kekurangan
hara makro dan mikro, keracunan Al atau Mn, pembentukan nodul terhambat,
tanaman mudah mendapat cekaman kekeringan; dan pertumbuhan akarnya terhambat.
Gejala yang sangat jelas adalah pertumbuhan yang sangat kerdil, daun berwarna
kuning kecoklatan, pertumbuhan perakaran sangat terbatas, bunga yang terbentuk
minimal dan jumlah polong juga minimal, produktivitas sangat rendah atau bahkan
gagal menghasilkan biji.
Kedelai
tidak memiliki preferensi terhadap
jenis tanah tertentu, sedikit membutuhkan
air dan lebih produktif ditanam
pada musim kemarau. Pada lahan kering,
kedelai ditanam sesudah padi gogo atau
jagung. Untuk wilayah Sumatera Barat, waktu tanam dianjurkan bulan Oktober- Januari (Musim Hujan
I=MH I) atau akhir MH
II (Februari-Mei)/awal musim kemarau. Kadang-kadang diikuti pertanaman ketiga apabila memungkinkan
yaitu antara bulan Juni-September.
Waktu tanam ini dapat juga disesuaikan
dengan kondisi iklim setempat. Curah
hujan yang cukup selama pertumbuhan
dan berkurang saat pembungaan
dan menjelang pemasakan biji akan
meningkatkan hasil kedelai (Nurdin dan Atman. 1998).
Varietas kedelai
toleran tanah masam sudah banyak ditemukan Badan Litbang Pertanian. BPTP
Sumatera Barat telah merekomendasikan
penggunaan varietas unggul
Singgalang, Wilis, Pangrango, dan Kipas
Putih pada paket budidaya kedelai di lahan kering masam untuk wilayah
spesifik Sumatera
Barat. Balitkabi Malang menyarankan
penggunaan varietas Tanggamus,
Sibayak, Nanti, dan Wilis (Hilman,
et al., 2004). Sementara itu, Tim Primatani
(2006) menggunakan varietas Tanggamus,
Nanti, Ratai, dan Seulawah dalam
program primatani di lahan kering masam. Menurut Sumarno (2004), pemerintah sering memiliki
pengharapan yang kelewat tinggi (over
expectation) bahwa permasalahan lahan masam seolah-olah harus dapat diatasi
dengan penambahan varietas toleran lahan masam. Perlu diingat bahwa lahan masam
bukan hanya mengandung Al dan Mn tinggi yang meracuni tanaman kedelai, tetapi
kandungan hara N, P, K, Ca, Mg, dan hara lainnya rendah. Dalam kondisi lahan
masam yang miskin hara, tidak mungkin ada varietas kedelai yang dapat tumbuh
dan menghasilkan biji secara normal. Oleh karena itu, perluasan areal tanam kedelai
pada lahan masam yang hanya mengandalkan penggunaan ”varietas adaptif dan
toleran lahan masam” tidak akan berhasil dengan baik. Penggabungan dengan
aplikasi teknologi ameliorasi tanah masam akan lebih memungkinkan
keberhasilannya.
Tanah masam perlu disehatkan dengan
meningkatkan pH dan menaikkan kejenuhan basa, serta pengkayaan unsur haranya.
Maidl (1996) Cit Sumarno (2004)
menjelaskan teknik
ameliorasi tanah masam, sebagai berikut:
1. Pengapuran Untuk
Meningkatkan PH Dan Mengatasi Keracunan Al.
Dosis
kapur disesuaikan dengan pH tanah umumnya sekitar 3 t/ha, berkisar antara 1-5
t/ha. Kapur yang baik adalah kapur magnesium atau dolomit yang dapat sekaligus
mensuplai Ca dan Mg. Pemberian kapur dengan cara ditebarkan di permukaan tanah
dan selanjutnya dibajak dalam (deep
ploughed) untuk membentuk lapisan olah yang dalam agar perakaran lebih
berkembang sehingga tanaman toleran cekaman kekeringan. Kapur diberikan 2-3
bulan sebelum tanam, dan diperkirakan akan efektif untuk jangka waktu 3-5
tahun.
2. Ameliorasi Pada
Lapisan Tanah Bawah (Sub-Soil)
Menggunakan Gypsum.
Pengapuran
pada permukaan tanah hanya akan mengoreksi pH pada lapisan olah tanah,
sedangkan pada lapisan sub-soil pH
masih rendah dan keracunan Al masih terjadi. Dalam keadaan tanah gembur dan
subur, akar kedelai dapat tumbuh hingga mencapai kedalaman 100-150 cm. Oleh
karena itu, pemberian gypsum pada
lapisan sub-soil dapat memperbaiki
pertumbuhan akar menjadi lebih dalam.
3. Pengkayaan Fosfat
Tanah Dengan Pemupukan P Dosis Tinggi.
Pada
lahan masam dengan kandungan fosfat
rendah (sekitar 4 ppm P) yang disertai
kapasitas fiksasi P yang tinggi, pengkayaan fosfat dalam tanah (build-up soil P
level) merupakan persyaratan mutlak untuk memperoleh produksi kedelai yang
tinggi. Dosis pupuk yang diperlukan tergantung bergantung pada kandungan liat
tanah, dianjurkan 3-5 kg P2O5 setiap 1% liat. Pupuk P ditebarkan dan dimasukkan
ke dalam tanah saat pembajakan tanah, beberapa hari sebelum tanam. Akan lebih
efektif bila diberikan pada barisan tanaman.
4.
Pengkayaan Bahan Organik.
Dengan
pengapuran dan pemupukan saja, kandungan bahan organik tanah akan cepat menurun
bila tidak diikuti pengembalian residu tanaman ke dalam tanah. Pola tanam yang
mengikutkan leguminosa untuk dibenamkan ke tanah, pengembalian residu tanaman,
dan pemupukan dengan kompos sangat dianjurkan.
5. Pengkayaan Kalium.
Pengkayaan
K diperlukan bila ketersediaan K dalam tanah kurang dari 30 ppm dan kandungan liat
lebih dari 18%. Takaran pupuk K secara umum adalah 100 kg K2O/ha, dengan cara
ditebarkan bersamaan pupuk P dan dimasukkan ke dalam lapisan olah tanah dengan
cara bajak. 6. Pengkayaan hara mikro. Bila tanah diduga kahat unsur mikro
terutama Zn, Fe, S, B, dan Mo, pemberian pupuk mikro dalam bentuk chelat atau fritted trace element (F, T, E) perlu dilakukan.
Tanam
dilakukan secara tugal, 2-3 biji per lubang dengan jarak tanam 40x20 cm di
lahan subur atau 40x15 cm di lahan kurang subur. Kebutuhan benih berkisar 45-50
kg/ha. Pengendalian gulma tergantung pertumbuhan gulma di lapangan. Biasanya 3
dan 6 mst atau 3, 7, 10 mst dengan menggunakan cangkul. Pengendalian hama dan
penyakit dilakukan berdasarkan konsep pengendalian hama terpadu (PHT). Panen
dilakukan bila semua daun rontok, polong berwarna kuning/coklat dan mengering. Panen
dapat dimulai pukul 09.00 pagi, pada saat air embun sudah hilang dengan cara
memotong pangkal batang tanaman dengan sabit. Hindari pemanenan dengan cara
mencabut tanaman, agar tanah/kotoran tidak terbawa. Berangkasan tanaman (hasil
panenan) dikumpulkan di tempat kering dan diberi alas terpal/plastik (Hilman,
2005). Jadi, Teknologi budidaya kedelai yang dianjurkan di lahan kering masam
adalah penggabungan teknologi ameliorasi tanah masam dengan penggunaan varietas
unggul toleran tanam masam. Selain itu, waktu tanam, cara tanam, perawatan
tanaman, dan panen yang tepat sangat mempengaruhi peningkatan produksi kedelai
(Atman, 2006).
DAFTAR PUSTAKA
Atman. 2006. Pengelolaan
Tanaman Kedelai Di Lahan Kering Masam. Jurnal
Ilmiah Tambua. Vol. 5, No.3 : 281-287
Hairiah, K.,
Widianto, Dan D. Suprayogo. 2005. Dapatkah Pengembangan Budidaya Tanaman Pangan
Pada Tanah Masam Selaras Dengan Konsep Pertanian Sehat?. Prosiding Lokakarya Pengembangan Kedelai Di Lahan Sub-Optimal.
Puslitbangtan Bogor
Hilman, Y. A.
Kasno, dan N. Saleh. 2004. Kacang-Kacangan Dan Umbi-Umbian: Kontribusi Terhadap
Ketahanan Pangan Dan Perkembangan Teknologinya. Inovasi Pertanian Tanaman Pangan. Puslitbangtan Bogor
Hilman, Y. 2005. Teknologi Produksi Kedelai Di
Lahan Kering Masam. Prosiding Lokakarya
Pengembangan Kedelai Di Lahan Sub-Optimal. Puslitbangtan Bogor
Mulyadi, D. dan D.
Soepraptohardjo. 1975. Masalah Data Luas Dan Penyebaran Tanah-Tanah Kritis. Simposium Pencegahan Dan Pemulihan
Tanah-Tanah Kritis Dalam Rangka Pengembangan Wilayah. Puslitanak Bogor.
Nurdin, F. Dan
Atman. 1998. Teknologi Pengendalian Terpadu Hama Penting Kedelai. Makalah Pada Pertemuan Paket Aplikasi
Teknologi BPTP Sukarami. Batusangkar.
Santoso, D. 1991.
Agricultural Land Of Indonesia. IARD, J.
13;33-36.
Sumarno. 2005.
Strategi Pengembangan Kedelai Di Lahan Masam. Prosiding Lokakarya Pengembangan Kedelai di Lahan Suboptimal. Puslitbangtan
Bogor
Tim Primatani.
2006. Inovasi Teknologi Unggulan Tanaman
Pangan Berbasis Agroekosistem Mendukung Primatani. Puslitbangtan Bogor
Tidak ada komentar:
Posting Komentar