Selasa, 04 Juli 2017

ANATOMI KARET





                I.            PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Karet (Hevea brasiliensis Muell.-Arg) berasal dari Brazilia, Amerika Selatan, mulai dibudidayakan di Sumatera Utara pada tahun 1903 dan di Jawa pada tahun 1906. Tanaman ini berasal dari sedikit semai yang dikirimkan dari Inggris ke Bogor pada tahun 1876, sedangkan semai-semai tersebut berasal dari biji karet yang dikumpulkan oleh H. A. Wickman, kewarganegaraan Inggris, dari wilayah antara Sungai Tapajoz dan Sungai Medeira di tengah Lembah Amazon (Semangun, 2000).
Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh Universitas Free, Belanda, pada tahun 2020 mendatang kebutuhan karet dunia mencapai lebih dari 13,472 juta ton karet alam. Padahal kemampuan negara-negara produsen karet alam untuk memenuhinya hanya sekitar 7.8 jut ton. Bagi Indonesia, meningkatnya kebutuhan karet alam dunia memberikan harapan yang cerah karena peluang untuk mengisi pasar internasional semakin terbuka (Semangun, 2000).
Di Indonesia karet alam merupakan komoditas strategis terutama ditinjau dari total area (3,1 juta ha), sumber devisa (lebih dari 1 milyar US$), jumlah penduduk yang mata pencariannya bergantung pada perkaretan (12 juta jiwa) dan perannya sebagai pelestari lingkungan (Setyamidjaja, 1993). Selain sebagai sumber devisa, karet juga digunakan untuk bahan baku di dalam negeri terutama untuk industri ban (Setyamidjaja, 1993).
Sebagai negara produsen kedua terbesar di dunia pada saat ini, Indonesia berpeluang besar untuk menjadi produsen utama dalam dekade-dekade mendatang. Potensi ini dimungkinkan karena Indonesia mempunyai sumber daya yang sangat memadai untuk meningkatkan produksi dan produktivitas, baik melalui pengembangan areal baru maupun melalui peremajaan areal tanaman menggunakan klon-klon unggul. Namun, harapan ini akan berjalan dengan baik jika langkah-langkah strategis penanganan operasional dapat dilaksanakan dengan baik. Pada saat yang sama, negara-negara pesaing Indonesia dengan sistem kelembagaan peremajaan tanaman karetnya yang lebih mapan, juga sedang menata diri untuk merebut pasar karet yang sangat prospektif dalam dua dekade mendatang (Depertemen Pertanian, 2007).
Dengan melihat pentingnya komoditi karet dimasa mendatang, maka diperlukan pengetahuan yang memadai tentang anatomi tanaman karet secara baik guna menunjang perkembangan perkebunan Karet di Indonesia.

B. Tujuan
Mahasiswa mampu mengetahui dan memahami anatomi batang tanaman karet ( Hevea brasiliensis ).



                                                                                                                                                                    II.            ISI
A.     Deskripsi Tanaman Karet
Tanaman karet adalah tanaman daerah tropis. Daerah yang cocok untuk tanaman karet adalah pada zone antara 150 LS dan 150 LU. Bila di tanam di luar zone tersebut, sehingga memulai pertumbuhannya pun lebih lambat, sehingga memulai produksinya pun lebih lambat (setyamidjaja, 1993).
Tanaman karet merupakan pohon yang tumbuh tinggi dan berbatang cukup besar. Tinggi pohon dewasa mencapai 15-25 m. Batang tanaman biasanya tumbuh lurus dan memiliki percabangan yang tinggi di atas. Di beberapa kebun karet ada kecondongan arah tumbuh tanamannya agak miring kea rah utara. Batang tanaman ini mengandung getah yang dikenal lateks (Anonim, 1999).
Memang, tanaman karet tergolong mudah diusahakan. Apalagi kondisi Negara Indonesia yang beriklim tropis, sangat cocok untuk tanaman yang berasal dari Daratan Amerika Tropis, sekitar Brazil. Hampir di semua daerah di Indonesia, termasuk daerah yang tergolong kurang subur, karet dapat tumbuh baik dan menghasilkan lateks. Karena itu, banyak rakyat yang berlomba-lomba membuka tanahnya untuk dijadikan perkebunan karet. 
Luas lahan karet yang dimiliki Indonesia mencapai 2,7-3 juta hektar. Ini merupakan lahan karet yang terluas di dunia. Perkebunan karet yang besar banyak diusahakan oleh pemerintah serta swasta. Sedangkan perkebunan-perkebunan karet dalam skala kecil pada umumnya dimiliki oleh rakyat. Sayangnya, perkebunan karet rakyat tidak dikelola dengan baik. Boleh dibilang pengolahan yang dilakukan hanya seadanya. Setelah ditanam, karet dibiarkan tumbuh begitu saja, perawatannya kurang diperhatikan. Tanaman karet tua jarang yang diremajakan dengan klon baru. Itulah sebabnya produktivitas perkebunan rakyat masih sangat rendah. Yang lebih memprihatinkan lagi adalah mutu karet olahan yang dihasilkan (Anonim, 1999).
Menurut Cahyono, dalam ilmu tumbuhan, tanaman karet diklasifikasikan sebagai berikut : (Cahyono, 2010).
Kingdom/Philum   : Plantae (tumbuh-tumbuhan)
Divisi                     : Spermatophyta (tumbuhan berbiji)
Sub divisi               : Angiospermae (biji berada dalam buah)
Kelas                      : Dycotyledonae (biji berkepin dua)
Ordo                       : Euphorbiales
Famili                      : Euphorbiales
Genus                      : Hevea
Spesies                    : Hevea bransiliensis

B.     Anatomi dan Bagian-Bagian Batang Tanaman Karet
Kulit batang karet pada batang pohon yang telah matang sadap dari luar menuju kedalam kearah kambium tersusun dengan urutan sebagai berikut : (Setyamidjaja, 1993).
·        Kulit gabus, yang merupakan lapisan paling luar dari batang
·        Kulit keras yang terdiri atas sel-sel batu parensim, pembuluh tapis, dan saluran lateks yang tidak teratur
·        Kulit lembut dimana terdapat saluran-saluran lateks dan 
·        Kambium.

a.       Batang atas
Batang atas untuk perkebunan haruslah menggunakan klon-klon anjuran. Diantaranya yaitu GT 1 dan AVROS 2037.  Pemilihan batang atas harus jelas diketahui asalnya, karena dari batang atas inilah akan diperoleh sadapan yang baik (Marsono dan Sigit, 2005). 
Untuk mendapatkan bahan tanam hasil okulasi yang baik diperlukan entres yang baik, Pada dasarnya mata okulasi dapat diambil dari dua sumber, yaitu dari entres cabang  kebun  entres  dan entres dari kebun produksi.  Dari dua macam sumber mata okulasi ini sebaiknya dipilih entres dari kebun entres murni, karena kelemahan diantaranya  entres cabang  dari kebun entres  akan menghasilkan tanaman yang pertumbuhannya tidak seragam, mudah terserang hama dan penyakit, membutuhkan jumlah air yang banyak  dan  keberhasilan okulasinya rendah. Mata entres dari kebun entres murni lebih baik karena akan menghasilkan tanaman yang seragam (Anwar, 2006). 
Pemupukan tanaman bahan okulasi bertujuan untuk memperoleh pertumbuhan kayu okulasi yang baik, yang memiliki jumlah mata tunas yang banyak  untuk tiap satuan panjang kayu bahan okulasi (entres).  Pemupukan diberikan tiap tiga bulan sekali dengan dosis pemupukan yang dianjurkan adalah: Tahun pertama; 20 gram  ZA (10  gram  Urea)+ 10 gram TSP+10 gram ZK (10 gram KCI) per pohon. Tahun kedua; 30 gram ZA  (15  gram  Urea)+15 gram  TSP+15 gram ZK (15 g KCI) per pohon  (Semoiraya, 2010).
b.  Kulit Pohon
a.       Seri kulit
Kulit pohon karet yang disadap dibagi menjadi 4 kulit, yaitu :
1.      Seri  kulit  A  :  kulit  perawan  atau  kulit  pulihan  purna  (licin  dan  tidak berbenjol) untuk sadap bawah normal
2.      Seri kulit B : kulit pulihan agak berbenjol, kurang rata dan kurang sempurna untuk sadap normal
3.      Seri  kulit  C  :  kulit  berbenjol  agak  tipis  untuk  disadap  ATS  atau  Upward Tapping
4.      Seri kulit D : kulit berbenjol-benjol sangat tipis disadap mati
b.      Tebal kulit
1.      Ketebalan kulit untuk pohon dengan pertumbuhan normal adalah 7 mm dan pada pohon di tanah tandus 6 mm
2.      Pada renewed bark pemulihan kulit pertama dalam 7 tahun dapat mencapai 7 mm, sedang untuk pemulihan kedua 8 tahun
3.      Secara  ekonomis  tebal  kulit  pohon  harus  mencapai  7  mm,  pemulihan  kulit  yang tipis tidak menguntungkan.
                             Gambar 2.1 Struktur Batang Tanaman Karet

Keterangan gambar :
1.      Kambium gabus
2.      Xilem sekunder
3.      Kayu musim kemarau
4.      Kayu musim hujan
5.      Pepagan
6.      Floem
7.      Kambium pembuluh
8.      Tahun ke-1
9.      Tahun ke-2
10.  Tahun ke-3
11.  Tahun ke-4
12.  Tahun ke-5
13.  Tahun ke-6
14.  Tahun ke-7
15.  Tahun ke-8
16.  Kayu dan xilem primer
c. Konsumsi Kulit
Konsumsi  kulit  untuk  bidang  sadap  bawah  diukur  secara  vertikal  pada  bidang sadap.  Tingkat  konsumsi  kulti  ditentukan  oleh  sistem  sadap  yang  digunakan.  Karena kulit  pohon  merupakan  modal  utama  bagi  usaha  budidaya  tanaman  karet,  masalah menejemen  pemakaian  kulit  harus  medapatkan  perhatian  khusus.  Penyadpan  dengan penggunaan kulit yang baik dan teratur akan dapat mewujudkan umur ekonomis pohon karet yang optimal.
d. Kedalaman Sadapan dengan struktur kulit karet
Untuk  mendapatkan  hasil  yang  maksimal,  penyadapan  dilakukan  dengan kedalaman  1    1,5  mm  dari  kambium.  Karena  pada  kedalaman  tersebut  terdapat pembuluh lateks paling banyak. Oleh  karena  itu  menyadap  dangkal,  yaitu  1,5  mm  dari  kambium  hanya  dapat menghasilkan 48% dari produksi maksimum.

C.     Lateks
Lateks adalah cairan putih dari pohon karet yang diambil dari tanaman pada proses penyadapan. Lateks berguna bagi tanaman sebagai bahan pengawet (preservative). Lateks dibentuk dalam pembuluh lateks. Pembuluh ini terdiri dari 2 macam. Pertama pembuluh lateks yang berasal dari 1 sel yang kemudian bercabang-cabang membentuk suatu pembuluh seperti amuba. Pembuluh lateks seperti ini disebut pembuluh lateks simple, misalnya terdapat pada biji. Kedua pembuluh lateks yang berasal dari deretan sel-sel dimana dinding-dinding sel kearah tegak lurus masing-masing melebur membentuk suatu pembuluh. Pembuluh lateks ini disebut pembuluh kompoun dan inilah yang terdapat pada tanaman karet yaitu pada kulit lunak dan kulit keras (Lukman, 1984). 
a. Pembuluh Lateks
Pembuluh lateks mengandung pembuluh dengan dinding yang permanen dan elastis. Sebelum melakukan penyadapan tekanan didalam pembuluh lateks tinggi. Pengaliran lateks disebabkan karena tekanan dalam pembuluh serta pergerakan cairan lateks akibat  perbedaan konsentrasi setelah pohon disadap. Pada mikroskop elektron dapat dilihat partikel lateks yang rusak akan mengeluarkan lateks (Southorn, 1961).
Jika penampang melintang tanaman karet dipelajari, bagian tengah terdapat jaringan kayu (xylem) yang dilapisi oleh kambium. Pada bagian luar dijumpai kulit lunak yang menyusul kulit keras pada kulit luar sel gabus sebagai lapisan terakhir. Di dalam kulit lunak tersebut terdapat sederetan pembuluh tapis atau floem yang berdiri agak condong ke kanan.
Menurut  Southorn (1961), lateks merupakan suatu sistem pembuluh berupa pipa saluran di dalam jaringan floem yang halus dari karet. Pembuluh ini berada dekat dengan kambium, pertama-tama membentuk sel tunggal lalu membentuk suatu jaringan pembuluh melalui anatomisis. Gills dan Suharto (1976) menyatakan bahwa semakin dekat dengan kambium maka aliran pembuluh semakin kecil dengan ukuran 30 mikron.
Baik ketebalan asli maupun jumlah baris pembuluh lateks yang ada di dalam semakin meningkat dan bertambahnya usia tanaman. Jumlah baris pembuluh lateks pada prinsipnya merupakan cirri khas suatu klon tetapi perkembangannya tergantung pada tingkat pertumbuhan tanaman yang dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti kepadatan tanaman dan status hara dan juga oleh klon (Webster dan Baulkwill, 1989).
b. Struktur Lateks
Lateks merupakan suatu sistem koloid yang bermuatan negatif berupa serum yang berisi protein anionik yang membentuk suatu badan yang dikelilingi oleh membran (lutoid) yang merupakan suatu sistem koloid kedua yang mengandung asam yang kebanyakan cation serum (Southorn dan Yip, 1968).
Menurut Subronto dan Napitupulu (1978), menayatakan bahwa lateks mengalir karena adanya proses pengenceran sebelum disadap tugor tanaman adalah tinggi akan tetapi setelah disadap menjadi penurunan tugor terutama dalam sel pembuluh lateks. Semakin tinggi tugor antara sel sekitar pembuluh maka proses pengenceran semakin lama.
Dijkman (1951), melaporkan bahwa lateks yang keluar dari organ muda lebih sedikit mengandung karet bila dibandingkan dengan lateks yang keluar dari kulit batang tanaman yang berumur 5-10 tahun, tetapi proses penggumpalan lateks lebih lama terjadi pada lateks yang keluar dari organ muda, sebab partikel dari organ ini sangat sedikit dan viskositas lateksnya lebih rendah.
c. Aliran Lateks
Pembuluh lateks adalah sel-sel hidup yang mengandung larutan seperti gula, protein dan garam mineral yang dapat menyimpan air dari jaringan yang berada disekitarnya. Ketika tanaman karet disadap lateks berhenti beberapa saat. Adapun faktor yang berhubungan dengan aliran lateks, yaitu :
1.      Fisiologi Aliran Lateks
Sifat-sifat fisiologi aliran lateks antara lain dicirikan oleh indeks penyumbatan, kecepatan aliran lateks, indeks produksi, kadar karet kering, total solud konten serta anatomi kulit yang meliputi jumlah, diameter dan kerapatan pembuluh lateks (Rasjidin, 1989).
2.      Proses Pengaliran Lateks
Apabila suatu alur sadap dibuka maka keluarlah lateks oleh tekanan dari dalam. Pengurangan terjadi secara berlanjutan sepanjang pembuluh lateks sehingga mengalirnya lateks menuju bagian yang dipotong. Pada saat yang sama akibat menurunnya tekanan dalam sel pembuluh lateks maka mengalirlah air ke dalam pembuluh dari sel sekelilingnya sehingga mengencerkan lateks      (Rasjidin, 1989).
3.      Daerah Aliran Lateks
Penelitian fisiologi tentang luasnya daerah pengaliran lateks yang secara efektif turut serta mengalirkan lateks selama penyadapan dilakukan oleh Frey Wysling (1993) dan Scheweizer (1941) hasil penelitiannya disimpulkan bahwa daerah aliran lateks hampir seluruhnya terdapat dibawah alur sadap hanya sebagian kecil dari samping alur sadap, luasnya tergantung kapasitas produksi pohon yang berproduksi tinggi daerah pengaliran pengaliran vertikal mencapai 171 cm (Rasjidin, 1989).
4.      Indeks Penyumbatan
Indeks penyumbatan dan panjang alur sadap sewaktu penyadapan juga menentukan pola aliran lateks. Semakin panjang alur sadapan, indeks penyumbatan semakin kecil sehingga lateks yang mengalir lebih lama. Sebaliknya semakin pendek alur sadap, indeks penyumbatan semakin besar. Sebab utama terjadinya penyumbatan pembuluh lateks adalah pecahnya butir lutoid yang terdapat dalam lateks akibat gesekan yang terjadi ketika lateks mengalir. Terjadinya penyempitan pada pembuluh lateks kemungkinan dapat mengganggu aliran lateks sehingga menyebabkan pola aliran lateks untuk setiap klon berbeda (Boerhendy, 1988).
Indeks penyumbatan merupakan sifat khas yang tidak dipengaruhi oleh umur tanaman, tetapi sedikit dipengaruhi oleh faktor lingkungan akibat terjadinya variasi produksi antara pohon dan variasi harian (Subronto dan Napitupulu, 1978).
5.      Kecepatan Aliran Lateks
Pengamatan kecepatan aliran lateks dimaksudkan untuk mengetahui pola aliran lateks. Pada awalnya aliran lateks mengalir cepat, kemudian lambat dan akhirnya berhenti. Lambat cepatnya aliran lateks sewaktu disadap berpengaruh terhadap tinggi rendahnya produksi. Semakin cepat dan lama lateks mengalir, maka hasil lateksnya semakin tinggi. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, ternyata pola aliran lateks itu berbeda-beda setiap klon. Perbedaan aliran lateks ini memungkinkan disebabkan oleh banyaknya pembuluh lateks yang terpotong. Selain itu, komposisi pembuluh lateks juga berbeda. Berdasarkan hasil itu maka pola aliran lateks berbeda untuk setiap klon sehingga hasil juga berbeda (Boerhendy, 1988).
Subronto dan Harris (1977), menyatakan bahwa kecepatan aliran akan menggambarkan aliran lateks per satuan waktu per panjang alur sadap yang dilalui. Kecepatan aliran lateks berkorelasi positif dengan produksi.
d. Pengumpulan Lateks di Kebun
Untuk mendapatkan hasil olah karet yang bermutu baik, syarat yang harus dipenuhi adalah tingkat kebersihan lateks dan penanganan pengumpulan lateks hasil penyadapan di kebun (Cahyono, 2010)
Selain dari kemungkinan terjadinya pengotoran lateks oleh kotoran-kotoran yang kelak sukar dihilangkan, kotoran-kotoran tersebut dapat pula menyebabkan terjadinya prakoagulasi dan terbentuknya lump sebelum lateks sampai di pabrik untuk diolah. Pengumpulan lateks dilaksanakan 3-4 jam setelah penyadapan dilakukan. Tetapi pada pohon-pohon yang aliran lateksnya lambat berhenti  (late drops) dapat dilakukan pengumpulan kedua.
Sedapat mungkin harus diusahakan semua lateks dapat diangkut ke pabrik pusat, agar dapat dilakukan pencampuran lateks dari semua bagian kebun dalam satu atau beberapa bak pencampur di pabrik, sehingga dapat diharapkan hasil yang seragam. Jika keadaan tempat memaksa untuk dilakukan koagulasi dikebun, jumlah lateks yang dikoagulasi sedapat mungkin harus dibatasi. Cara terakhir ini dilaksanakan kalau lateks akan diolah menjadi crepe atau karet remah, sedangkan kalau akan diolah menjadi  sheet, proses koagulasi harus dilaksanakan di pabrik (Setyamidjaja, 1993).
Mikroba mempunyai sifat dapat menyesuaikan diri pada lingkungan hidupnya, sehingga pada lateks kebun walaupun telah diberi bahan pengawet amonia bila tertunda terlalu lama di TPH (Tempat Pengumpulan Hasil) kebun, mutunya dapat menurun. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan memperlihatkan bahwa dengan dosis ammonia 0,30% di TPH kebun setelah penyimpanan 5 jam jumlah mikroba  masih sekitar 2 x 103 sel/ml lateks dan setelah 15 jam terjadi peningkatan jumlah mikroba menjadi 2 x 107 sel/ml lateks dan kemudian setelah penyimpanan 25 jam lateks kebun tersebut telah mengalami prakoagulasi. Oleh karena itu diharapkan lateks kebun telah terkumpul di tangki penerima pabrik paling lambat 10 jam setelah penyadapan (Ompusunggu, 1991).
Sarana transportasi, baik jalan atau kendaraan, yang buruk akan menambah frekuensi terjadinya prakoagulasi. Jalan yang buruk atau angkutan yang berguncang-guncang mengakibatkan lateks yang diangkut terkocok-kocok secara kuat sehingga merusak kestabilan koloidal. Jarak yang jauh yang menyebabkan lateks baru tiba di tempat pengolahan pada siang hari dan sempat terkena terik matahari di perjalanan juga dapat menyebabkan terjadinya prakoagulasi (Anonim, 1999).

D.    Penyadapan
Pemungutan hasil tanaman karet disebut penyadapan karet. Penyadapan karet (menderes, menorah,  tapping) adalah mata rantai pertama dalam proses produksi karet. Penyadapan dilaksanakan dikebun produksi dengan menyayat atau mengiris kulit batang dengan cara tertentu, dengan maksud  untuk memperoleh lateks atau getah. Kulit batang yang disadap adalah modal utama untuk berproduksinya tanaman karet. Kesalahan dalam penyadapan akan membawa akibat yang merugikan baik bagi pohon itu sendiri maupun bagi produksinya.
Pada tanaman muda, penyadapan umumnya telah dimulai pada umur 5-6 tahun, tergantung pada kesuburan pertumbuhannya. Penyadapan pada tanaman muda, sebelum sadapan rutin berjalan, terlebih dahulu melakukan bukaan sadapan yang merupakan saat pertama dimulainya penyadapan pada tanaman yang telah memenuhi syarat untuk disadap.
Gambar 2. 2 Penyadapan tanaman karet
Tanaman  karet  merupakan  tanaman  yang  menghasilkan  getah.  Tanaman  ini dipanen  dengan  cara  disadap,  yaitu  menyayat  atau  mengiris  kulit  batang  dengan  cara tertentu, dengan maksud untuk memperoleh lateks atau getah.kulit batang yang disadap adalah modal utama berproduksinya tanaman karet. Kesalahan dalam penyadapan akan membawa  akibat  yang  sangat  merugikan  baik  bagi  pohon  itu  sendiri  maupun  bagi produksinya.
Kesalahan dalam penyadapan, seperti pemborosan pemakaian kulit dan kerusakan kulit  dan  lain-lain  akan  berdampak  pada  pemendekan  umur  ekonomis  tanaman, penurunan  produksi  sehingga  mengakibatkan  kerugian  perusahaan. 
Syarat-syarat penyadapan yang baik :
1.      Dapat memberikan hasil karet kering  yang tinggi baik per pohon maupun per hektar
2.      Hemat dalam penggunaan kulit
3.      Mudah dilaksanakan dan efisien tenaga serta biaya
4.      Mempertimbangkan  kesehatan  tanaman  dan  stabilitas  produktivitas  dalam jangka panjang
Komposisi  umur  tanaman  menghasilkan  karet  yang  standart  (25  tahun  sadengan sifat produksinya sebagai berikut :
Table 2.1 Komposisi Umur TM Dengan Sifat Produksinya 
Umur Tanaman (tahun) 
Kelas
Standart Luas (%) 
Sifat Produksi
6 – 12 tahun
Taruna
23
Belum potensi
13 – 18 tahun
Muda
20
Potensial
19 – 23 tahun
Dewasa
17
Sangat potensial
24 – 27 tahun
Tua
13
Kurang potensial
>27 tahun
Tua renta
10
Tidak potensial
Sumber : Pedoman Budidaya Pengelolaan Karet (1997)
·        Macam Sadapan
Berdasarkan cara dan arah penyadapan, maka sadapan karet dibedakan menjadi 5 macam, yaitu :
a.       Sadap tusuk (Puncture Tapping)
b.      Sadap ke arah bawah (Down Ward Tapping)
c.       Sadap ke arah atas (Up Ward Tapping), sadap ke arah atas biasa dan sadap ke arah atas ATS (Alternate Tapping Sistem)
d.      Sadap kombinasi arah atas dan bawah bersamaan
e.       Sadap mati/cacah runcah (CCRC)
·        Pola Dasar Sadapan 
Kriteria Matang Sadap
Tanaman karet dapat disadap apabila telah memenuhi kriteria matang sadap, yaitu :
a.       Umur 5 – 6 tahun
b.      Lilit batang pada ketinggian 100 cm dari pertautan okulasi minimal 45 cm
c.       Jumlah tanaman karet dalam 1 blok/areal tanaman yang sama dengan lilit  batang minimal 45 cm telah mancapai minimal 60% dari populasi
d.      Ketebalan kulit pada ketinggian 100 cm untuk daerah subur telah mencapai 7 mm, sedang daerah kurang subur telah mencapai 6 mm.
            Persiapan TM 1
a.       Pengukuran lilit batang
Pengukuran lilit batang  dilakukan pada ketinggian 100 cm dari pertautan  okulasi pada  setiap  pohon,  dengan  tujuan  untuk  menginventarisasi  jumlah  pohon  yang  lilit batangnya  telah  memenuhi  criteria  matang  sadap.  Pengukuran  lilit  batang  terakhir dilakukan pada bulan Agustus.
Pada pohon yang lilit batangnya mencapai 45 cm atau lebih diberi tanda 2 totolan dan 35 – 45 diberi tanda 1 totolan. Pemberian tanda totolan pada ketinggian 150 cm dari pertautan okulasi dengan menghadap ke arah jalan.

          Gambar 2.3 Lilit batang tanaman karet
b.      Waktu buka sadap baru
Pelaksanaan  buda  sadapan  pertama  dilakukan  pada  bulan  oktober,  yaitu  saat setelah lewat masa gugur daun.
c.       Pembagian hanca
Pembagian hanca pada tanaman TM 1 dilaksanakan pada akhir masa TBM dengan cara sebagai berikut :
1)      Lilit batang 35 cm keatas dihitung sampai dengan jumlah 500 pohon
2)      Setiap  hanca  disisipkan  500  pohon  walaupun  pada  kenyataannya  yang disadap  kurang  dari  500  pohon.  Akan  tetapi  pada  akhir  TM  1  yang  disadap  akan mencapai 500 pohon dengna pertimbangan agar tidak selalu merubah hanca.
3)      Setiap batas hanca diberi tanda gelang 5 cm, ketinggian dari tanah 2m
4)      Setiap  setengah  hanca  diberi  warna  merah  dan  setengah  hanca  selebihnya deberi gelang warna putih
5)      Nama  penyadap  agar  dipasang  disetiap  blok  hanca  untuk  memudahkan control  
·        Rumus Sadapan
a.       Symbol sadapan
S (Spiral)         = keratin sadapan sepanjang 1 spiral dengan susut 400
D (Day)           = hari, menunjukkan hari sadap
b.      Pedoman 
½ S      = angka pertama di depan S menunjukkan jumlah atau panjang keratan
D3       = angka di belakang D menunjukkan hari sadap (rotasi sadap)
          = tanda panah menunjukka arah sadapan
Contoh : ½ S↓d3
Artinya  :  satu  irisan  sadap  dengan  panjang  ½  spiral,  satu  hari  sadap  dua  hari istirahat (disadap 3 hari sekali).
·        Intensitas Sadap
a.       Menunjukkan tingkat kekuatan/beban sadapan dan dinyatakan dalam %
b.      Sebagai tolok ukur intensitas sadap sesuai kesepakatan bersama untuk 1SD1 = 400%
c.       Pedoman pada sadapan dengan ½ SD2 yaitu disadap 2 hari sekali, intensitasnya ½ x ½ x 400% = 100%.
·        Waktu Penyadapan
Semakin  pagi  pelaksanaan  penyadapan,  produksi  yang  dihasilkan  makin  tinggi karena tekanan turgor tanaman masih tinggi. Perlu dipertimbangkan tentang :
a.       Keahlian penyadap, menyadap pada keadan gelap lebih mudah terkena kayu
b.      Kesehatan penyadap
c.       Penyadap  yang  mengadap  terlalu  pagi  serta  dalam  suasana  yang  lembab, kemungkinan  terserang  penyakit  lebih  besar. 
Waktu  penyadapan  dimulai  dan  dapat diselesaikan  sepagi  mungkin  (disesusikan  dengan  kondisi  iklim/musim).  Keluarnya lateks  ipengaruhi  oleh  tekanan  sel  pembuluh  lateks   dan  sel-sel  parenkim  disekitar pembuluh lateks. Tekanan turgor ini dipengaruhi oleh suhu udara. 
·        Pelaksanaan Buka Sadap Baru
a.       Irisan sadap pertama dimulai dari batas 1 cm diatas garis sadap paling atas dengan kedalaman sadap 4,5 mm dari cambium
b.      Sadapan diteruskan scara bertahap sampai mencapai garis sadap teratas (dilakukan sebanyak  ±5  kali)  dengan  kedalaman  1,5  mm  dari  kambium  dan  sudah  menghasilkan lateks
c.       Diupayakan  agar  kedudukan  pisau  sadap  pada  panel  sadap  telah  tepat  untuk menghindari luka kayu.


III. KESIMPULAN

1.      Kulit batang karet pada batang pohon yang telah matang sadap dari luar menuju kedalam kearah kambium tersusun dengan urutan sebagai berikut :
·        Kulit gabus, yang merupakan lapisan paling luar dari batang
·        Kulit keras yang terdiri atas sel-sel batu parensim, pembuluh tapis, dan saluran lateks yang tidak teratur
·        Kulit lembut dimana terdapat saluran-saluran lateks dan 
·        Kambium.
2.      Rumus sadapan
·        Symbol sadapan
S (Spiral)         = keratin sadapan sepanjang 1 spiral dengan susut 400
D (Day)           = hari, menunjukkan hari sadap
·        Pedoman 
½ S      = angka pertama di depan S menunjukkan jumlah atau panjang keratan
D3       = angka di belakang D menunjukkan hari sadap (rotasi sadap)
          = tanda panah menunjukka arah sadapan
Contoh : ½ S↓d3




DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 1999. Panduan Lengkap Karet. Penebar Swadaya, Jakarta.
Anwar. 2006. Manajemen dan Teknologi Budidaya Karet. Pusat Penelitian Karet. Medan.
Boerhendy, 1988. Efek Okulasi Tajuk terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Karet. Universitas Jambi Press. Jambi
Cahyono, 2010. Karet. Medan: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam-  Universitas Sumatera Utara.
Depertemen Pertanian, 2007. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Karet. Edisi ke 2. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta.
 Dijkman M. J.  1951.  Hevea.  Thirty Years of Research in the Far East.   University of Miami Pr.  Florida. 329 p.
Direktorat Perlindungan Perkebunan. 2003. Pedoman Pengamatan dan Pengendalian OPT Karet. Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan. Departemen Pertanian. Jakarta..
Lukman, 1984. Penyadapan dan Stimulasi Tanaman Karet. Medan : BPP.
Marsono dan Sigit, 2005. Karet. Penebar Swadaya. Jakarta
Rasjidin, 1989. Bercocok Tanam Karet. Penebar Swadaya. Jakarta
Semangun, 2000. Penyakit-Penyakit Tanaman Perkebunan di Indonesia. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Semoiraya, 2010. Budidaya Karet. http://semoiraya.com/article/26214/budidaya-karet.html. Diakses pada 8 Oktober 2014
Setyamidjaja, 1993.. Karet budidaya dan Pengolahan. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
Tim Penulis. 1999. KaretJakarta. Penerbit Swadaya
Tim Penulis PS. 2011. Panduan Lengkap KaretJakarta Penebar Swadaya
Andriansyah
Southorn, 1961. Micropy of Havea Lateks.  Illinois University Press
Southorn dan Yip, 1968. Some physiologial properties of latex from anther somatic plants derived from two hevea  clones.  In:    Physiology  &  Exploitation  of Hevea  brasiliensis.  Proceeding  of  IRRDB Symposium.  Kunming  China,  6-7  October  1990. The  International  Rubber  Research  &  Develop-ment Board. p. 14-19.
Subronto dan Napitupulu. 1978. Pengujian Klon Karet. Bentang Pustaka. Medan
Webster dan Baulkwill, 1989.The Agronomy of the Major Tropical Crops. New York : Oxford University Press. 



Tidak ada komentar: