Selasa, 04 Juli 2017

AGROFORESTRY SALAK DAN JABON







MAKALAH RTPT

REKAYASA TEKNOLOGI PRODUKSI TANAMAN PADA TANAMAN SALAK  (Salacca edulis) DENGAN AGROFORESTI TANAMAN JABON (Anthocephalus cadamba)



http://www.unsoed.ac.id/sites/default/files//Logo-UNSOED.png 





Oleh :
Abi Daulah Haque                 (A1L014189)
Prisma Nurul Ilmiyati           (A1L014193)
Rike Nur Septianty                (A1L014199)
Muhhamad W Fahrizal        (A1L014207)
Rahmat Rusdianto                (A1L014209)
             
             


KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS PERTANIAN
PURWOKERTO
2017

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat dan nikmat yang telah dilimpahkan kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah Rekayasa Teknologi Produksi Tanaman Pada Tanaman Salak  (Salacca edulis) Dengan Agroforesti Tanaman Jabon (Anthocephalus cadamba) Terselesainya makalah  ini tidak lepas dari dukungan beberapa pihak yang telah memberikan kepada penulis berupa motivasi, baik materi maupun moril. Oleh karena itu, penulis bermaksud mengucapkan banyak terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu terselesaikannya makalah ini. Penulis menyadari bahwa penyusunan makalah ini belum mencapai kesempurnaan, sehingga kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan dari berbagai pihak demi kesempurnaan makalah ini. Akhirnya penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Penyusun







I.     PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Buah salak merupakan tanaman budidaya yang cukup terkenal di Indonesia. Komoditi salak yang merupakan jenis buah tropis asli Indonesia ini menjadi komoditas unggulan dan terus dikembangkan. Di Indonesia sendiri terdapat berbagai varietas salak diantaranya salak pondoh, salak gula pasir, salak bali serta varietas lain yang mempunyai nilai komersial yang tinggi. Pemerintah mempunyai peran penting untuk membuat kebijakan tentang pengembangan dan budidaya tanaman salak di daerah sentra produksi. Pada umumnya daerah-daerah sentra salak tersebut memproduksi buah salak yang khas.
Salah satu daerah sentra produksi komoditi salak pondoh berada di Kabupaten Banyumas, yaitu di daerah Baturraden, Purwokerto. Perkembangan jenis-jenis salak pondoh ini meliputi rasa buahnya, ukuran buahnya, warna buahnya dan warna daging buahnya. Kondisi lingkungan yang sesuai untuk budidaya salak meliputi kelembaban tinggi, suhu, ketinggian, kesuburan tanah, dan terhindar dari genangan air. Potensi komoditas tanaman salak meliputi buah sebagai sumber vitamin, bagian pelepahnya sebagai bahan dasar kerajinan tangan, dan bagian batangnya dapat digunakan sebagai bahan bangunan dan bahan bakar. Komoditas salak yang bernilai tinggi ini juga harus memenuhi permintaan pasar untuk ekspor dengan kualitas terbaik. Semakin tingginya permintaan pasar, maka kualitas salak harus ditingkatkan pula. Hambatan dalam budidaya salak terdiri dari agroklimat dan hama yang menyerang. Hama yang menyerang dapat terdiri dari kutu, kumbang penggerek batang dan berbagai mikrofauna, mesofauna, dan makrofauna.


B.  Tujuan
1.      Mengetahui permasalahan tanaman salak di daerah Baturraden.
2.      Mengetahui rekayasa teknologi yang dapat digunakan untuk mengatasi perrmasalahan budidaya tanaman salak di Baturraden.




















II.    PEMBAHASAN
A.    Tanaman Salak
Indonesia memiliki jenis atau ragam buah-buahan yang sangat banyak. Salah satu diantaranya adalah buah salak. Daerah asal tanaman salak tidak jelas diketahui secara pasti, tetapi diperkirakan berasal dari Indonesia, Thailand, dan Malaysia. Ada juga yang mengatakan bahwa tanaman salak (Salacca edulis) tanaman asli Indonesia yang berasal dari Pulau Jawa. Sejak kapan tanaman dibudidayakan belum pasti diketahui secara pasti. Di Indonesia, bercocok tanam salak sudah dikenal sejak zaman kolonial Belanda. Tanaman salak banyak memiliki varietas yang diantaranya memiliki sifat unggul baik dari segi rasa maupun penampilan buahnya. Sampai saat ini banyak sentra produksi buah salak yang cukup terkenal seperti di Pulau Jawa dan Bali, Provinsi Sulawesi Selatan, Yogyakarta, dan Sumatera Utara (Tim karya tani mandiri, 2010).
Salak (Salacca edulis) merupakan tanaman asli daerah Asia Tenggara yang sangat populer di Indonesia dan mempunyai prospek yang baik untuk pasaran dalam negeri maupun luar negeri. Buah salak harus dipetik pada tingkat ketuaan yang optimum, sebab buah salak yang masih muda umumnya mempunyai rasa sepat yang menonjol sekali. Pada tingkat ketuaan optimum rasa sepatnya hilang dan berubah menjadi manis dengan sedikit rasa asam serta mengeluarkan aroma yang harum. Namun ada perkecualian khusus untuk salak pondoh bahwa walaupun masih muda rasanya manis dan tidak sepat (Tim karya tani mandiri, 2010).
Salak adalah sejenis palma dengan buah yang biasa dimakan. Dikenal juga sebagai salak, dalam bahasa Inggris disebut snake fruit karena kulitnya mirip dengan sisik ular, sementara nama ilmiahnya adalah Salacca zalacca, tetapi ada sebagian sumber juga menyebutkan nama ilmiah salak adalah Salacca edulis (Tim karya tani mandiri, 2010). Banyak varietas salak yang bisa tumbuh di Indonesia. Ada yang masih muda sudah terasa manis. Varietas unggul yang telah dilepas oleh pemerintah untuk dikembangkan adalah salak Pondoh, Swaru, Nglumut, Enrekang, Gula batu (Bali), dan lain-lain (Tim karya tani mandiri, 2010).
Salak tumbuh baik di dataran rendah hingga ketinggian 700 m di atas permukaan air laut (dpl) dengan curah hujan rata-rata per tahun 200-400 mm/bulan. Tanaman salak menyukai tanah yang subur, gembur, dan lembab, dengan derajat keasaman tanah (pH) 4,5-7,5 dengan kondisi tanah yang kelembabannya tinggi. Buah salak dapat dipanen setelah matang benar dipohon, biasanya berumur enam bulan setelah bunga mekar. Hal ini ditandai oleh sisik yang telah jarang, warna kulit buah merah kehitaman atau kuning tua, dan bulu-bulunya telah hilang. Ujung kulit buah (bagian buah yang meruncing) terasa lunak bila ditekan. Tanda buah yang sudah tua menurut sumber lain adalah warnanya mengkilat, bila dipetik mudah terlepas dari tangkai buah, dan aroma khas salak cukup kuat. Pemanenan buah salak yakni dengan cara memotong tangkai tandannya (Tim karya tani mandiri, 2010).
Menurut Soetomo (2001), Buah salak mengandung nilai gizi tinggi. Dalam setiap 100 gram nilai gizinya terdiri dari:
Tabel 1. Kandungan Gizi Salak Setiap 100 gram
Salak (Salacca edulis) merupakan sumber serat yang baik dan mengandung karbohidrat. Rasa buahnya manis, dan memiliki bau dan rasa yang unik. Salak mengandung zat bioaktif antioksidan seperti vitamin A dan vitamin C, serta senyawa fenolik. Salak memiliki umur umur simpan kurang dari seminggu karena proses pematangan buahnya cepat dan mengandung kadar air yang cukup tinggi yakni sekitar 78% (Ong dan Law, 2009).
Kerusakan buah salak ditandai dengan bau busuk dan daging buah salak menjadi lembek serta berwarna kecoklat-coklatan. Untuk menghambat kerusakan yang tejadi pada buah salak, maka diperlukan penanganan pascapanen yang meliputi pengumpulan, penyortiran, penggolongan, pengemasan dan pengangkutan (Tim karya tani mandiri, 2010).
B.     Tanaman Jabon (Anthocephalus cadamba Miq)

Tanaman jabon (Anthocephalus cadamba Miq) merupakan jenis tanaman cepat tumbuh, pemanfaatan kayunya sudah dikenal luas oleh masyarakat, dan teknik silvikulturnya telah diketahui. Jabon tergolong tumbuhan pionir. Jenis ini tersebar di seluruh Indonesia terutama di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Papua. Jenis ini juga ditemukan di Philipina, Papua New Guinea dan Kepulauan Solomon. Tumbuh di hutan hujan dataran rendah dan hutan sekunder atau tepi jalan logging. Pada distribusi alaminya, tanaman ini tumbuh baik pada ketinggian 0-1.000 m dpl dengan rata-rata curah hujan sekurang-kurangnya 1.500 mm/tahun atau wilayah beriklim basah hingga agak kering (tipe iklim A-C). Tumbuh di tanah alluvial atau tanah lembab di tepi sungai, dan tanah bertekstur liat atauliat berpasir. (Soerianegara and Lemmens,1994).
Keunggulan pohon jabon lainnya yaitu tahan terhadappenyakit karat tumor yang umumnya menyebabkan kematian terhadap pohon sengon. Penyakit ini pertama kali ditemukan di Indonesia pada tahun 1996 di Pulau Seram, Maluku. Penyakit ini menyerang sengon sejak dipersemaian hingga tanaman dewasa. Penyakit ini disebabkan oleh cendawan yang bernama Uromycladium tepperianum yang kemudian menyebar dari Seram ke perkebunan kopi di Timor Leste, dimana pada saat itu sengon digunakan sebagai tanaman penaung dan kerusakan yang diakibatkan oleh penyakit karat tumor dengan tingkat serangan 90%. Penyakit ini selanjutnya menyebar ke Soroako, Sulawesi Selatan, Jawa Timur hingga akhirnya meluas di sentra-sentra perkebunan Sengon di Jawa. Tercatat 600.000 sengon di lahan seluas 15 ha tidak dapat diselamatkan dalam jangka waktu 2 bulan di Desa Tlogopucang, Kecamatan Kandangan, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah pada tahun 2007 akibat penyakit karat tumor. (Trubus, 2010).
C.     Rekayasa Teknologi Produksi Tanaman Agroforestri Salak dengan Jabon
Salah satu Rekayasa teknologi produksi tanaman dengan agroforestri dalam sistem pertanian berkelanjutan adalah antara tanaman salak dengan tanaman jabon yang akan dapat diterapkan di Daerah Baturraden, Kabupaten Banyumas. Pemilihan jenis tanaman seperti salak dan jabon ini didasarkan pada nilai ekonomi yang banyak disukai dan harga yang cukup tinggi, selain itu tanaman ini cocok dengan kondisi tanah di Daerah Baturraden dengan ketinggian sekitar 600 mdpl. Pengembangan hutan rakyat dilihat dari segi ekonomi selain menguntungkan dalam hal jenis tanaman yang mempunyai nilai ekonomi tinggi juga menguntungkan dari segi pengelolaan yang membutuhkan biaya lebih kecil dibandingkan pengembangan untuk lahan pertanian. Menurut Hardjanto (2006), praktek agroforestri secara perorangan banyak tersebar di Jawa - Madura dengan perbedaan kombinasi jenis yang ditanam serta pilihan jenis kayu/pohon sebagai jenis dominan.
Dalam rekayasa ini menggunakan agroforestri dengan jabon, karena pertumbuhannya yang lebih cepat daripada sengon. Dengan manfaat yang lebih banyak daripada sengon yang sama-sama dapat menjadi naungan untuk tanaman salak yang tidak begitu tahan dengan sinar matahari secara langsung. Kayu Jabon termasuk kayu lunak dengan berat jenis rendah sampai sedang. Menurut BPTH Sulawesi (2011) kayu Jabon merah tergolong pada kelas kayu kuat I sampai II. Dari sisi keawetan termasuk golongan kelas IV dan dari sisi keterawetan (kemampuan pori-pori kayu untuk menyerap bahan pengawet) tergolong sedang. Dibandingkan dengan  Sengon, kekuatan dan keawetan kayu ini lebih baik. Kayunya yang berwarna putih kemerahan dengan tekstur yang halus tanpa terlihat seratnya sangat sesuai bagi industri pulp dan kertas, venir, kayu lapis (plywood), industri meubel, peti buah, mainan anak-anak, korek api, alas sepatu, papan, dan produk kayu lainnya. Warnanya yang kemerahan dan juga arah serat kayunya yang lurus mebuat kayu Jabon sangat bagus untuk dibuat venir. Venir kayu Jabon dapat digunakan dengan baik sebagai face atau back pada industri kayu lapis. Dengan warnanya yang kemerahan kayu lapis Jabon sering digunakan sebagai pengganti kayu lapis dari bahan kayu Meranti merah yang semakin langka. Kayu lapis Jabon memenuhi syarat dan standar baku pasar Eropa, Amerika, Korea dan Jepang. Oleh karena itu di Baturraden yang semula tanaman salak yang dengan tegakan tanaman sengon dan tanaman lainnya (wanatani / kebun campur) lebih baik dengan tanaman jabon dengan berbagai macam fungsinya. Selain itu dengan satu tanaman yang pasti pertumbuhan dan manfaatnya akan dapat mengatasi permasalahan petani tentang hasil produksi dan keefektifan dalam melakukan produksi tanaman.
Dimasa yang akan datang apabila persepsi masyarakat terhadap keuntungan budidaya salak semakin tinggi, besar kemungkinan sistem agroforestri salak dan jabon dapat berubah menjadi lahan dengan sistem pengelolaan monokultur salak. Walaupun monokultur salak memiliki keuntungan finansial yang cukup tinggi namun pengelolaan hutan dengan sistem agroforestri tetap lebih banyak memberikan keuntungan tidak hanya secara ekonomi namun keuntungan ekologi dan sosial. Sebenarnya tanaman jabon masih dapat berkontribusi memberikan keuntungan yang besar kepada petani di Daerah Baturraden, karena dari 100% pohon jabon yang ada dilahan hanya 59% yang dipanen sesuai daur sehingga apabila mengabaikan factor kerugian akibat serangan hama masih ada sebanyak 41% pohon jaboon petani masih memiliki “tabungan” berupa pohon jabon yang sengaja tidak dipanen selama daur 10 tahun. Selain itu Hardiatmi (2008) menyebutkan beberapa keuntungan agroforestri diantaranya adalah keuntungan secara ekologi berupa  kualitas lahan yang semakin subur dan produktif karena selalu memperoleh penambahan bahan organik dari dedaunan yang gugur serta stabilitas tanah juga dapat lebih baik dengan adanya perakaran tanaman berkayu, sedangkan keuntungan sosial berupa kekuatan ikatan psikologis masyarakat yang tinggal disekitar hutan semakin peduli dan bertanggungjawab terhadap hutan. Budiastuti (2013) mengungkapkan kelebihan dari agroforestri yaitu tingkat variasi tanaman dalam sistem agroforestri akan menciptakan tingkat stratifikasi tajuk yang tinggi pula, sehingga perbedaan tingkat stratifikasi tajuk dapat mengurangi kecepatan dan kekuatan pukulan bulir air hujan yang jatuh ke tanah.





















III. PENUTUP
A.    Kesimpulan
1.      Sistem Agroforestri budidaya tanaman salak di Baturraden dengan tanaman jabon adalah salah satu jenis rekayasa dalam meningkatkan produksi di kalangan petani tanaman salak di baturraden.
2.      Sistem Agroforestri dengan jabon memiliki manfaat yang lebih di bandingkan dengan tanaman tegakan lain seperti sengon, pinus dan tanaman tahunan lainnya.
3.      Dengan adanya rekayasa produksi tanaman salak dengan jabon menjadikan permasalahan petani tentang hasil produksi dapat teratasi dengan memiliki dua jenis tanaman yang dapat di panen secara lebih cepat dan saling mutualisme dalam proses pertumbuhannya.





DAFTAR PUSTAKA
Anarsia W. 1996. Agribisnis Komoditas Salak. PT Bumi Aksara. Jakarta.

BPTH Sulawesi. 2011. Anthocephalus macrophyllus (Roxb.) Miq. Informasi singkat benih No 126. November 2011.

Budiastuti S. 2013. “Sistem Agroforestry Sebagai Alternatif Hadapi Pergeseran Musim Guna Mencapai Keamanan Pangan”. J ekosains Vol. V No.1.

Budiastuti S. 2013. “Sistem Agroforestry Sebagai Alternatif Hadapi Pergeseran Musim Guna Mencapai Keamanan Pangan”. J ekosains Vol. V No.1.

Hardiatmi S. 2008. “Kontribusi Agroforestry Dalam Menyelamatkan Hutan dan Ketahanan Pangan Nasional”. J Inovasi Pertanian Vol. 7, No. 1, (26-32).

Hardjanto. 2001. Kontribusi Hutan Rakyat Terhadap Pendapatan Rumah Tangga di Sub DAS Cimanuk Hulu. Jurnal Manajemen Huran Tropika Vol. VII No. 2 : 47-46.
Mulyana D, Asmarahman C. 2010. 7 Jenis Kayu Penghasil Rupiah. Agromedia Pustaka. Jakarta.

Ong, S.P dan Law, C.L. 2009. Mathematical Modelling of Thin Layer Drying of Snakefruit, Journal of Applied Sciences Vol. 9 Edisi 17 Hal. 3048-3054.

Santoso, I. 2012. Strategi Penelitian Wanatani (Agroforestry) di Indonesia. Kementerian Kehutanan. Jakarta.

Sapulete. E dan Kapisa, N. 1994. Informasi Teknis Tanaman Jabon (Anthocephalus cadamba Miq.). Buletin Penelitian Kehutanan 10:183-195.

Soerianegara,I.dan RHMJ Lemmens (eds.). 2005. Plant resources of South-East Asia. Timber trees : Major commercial timbers 5 (1): 102 – 108. Prosea. Bogor.

Soetomo, Moch, H.A. 2001. Teknik Bertanam Salak. Sinar Baru Algesindo. Bandung.

Tim Karya Mandiri. 2010. Pedoman Budidaya Buah Salak. CV Nuansa Aulia. Bandung.

Trubus . 2010. Jabon: Laba segar masa depan. Edisi 448, Juli 2010. PT Trubus Swadaya. Jakarta.


















Tidak ada komentar: