TUGAS
TERSTRUKTUR
STRATEGI DAN
PENGATURAN PRODUKSI HORTIKULTURA
BUDIDAYA CABAI
UNTUK MENGATASI FLUKTUASI HARGA
Oleh :
1.
Rifa
Azzahro (A1L014184)
2.
Rifqa
Annisa (A1L014185)
3.
Siti
Maulida Kh (A1L014186)
4.
Clara
Laurentia (A1L014188)
5.
Prisma
Nurul I. (A1L014193)
KEMENTERIAN
RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI
UNIVERSITAS
JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS
PERTANIAN
PURWOKERTO
2017
I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hortikultura
merupakan salah satu sektor pertanian yang berkembang pesat dalam pertanian
Indonesia. Jenis tanaman yang dibudidayakan dalam hortikultur meliputi
buah-buahan, sayur-sayuran, bunga dan tanaman hias. Sedangkan dalam
hortikultur, sayuran adalah salah satu sumber vitamin dan mineral. Cabai merah
(Capsicum annum) merupakan komoditas
sayuran yang memiliki peranan penting bagi pertanian di Indonesia. Cabai merah
biasa digunakan dalam bentuk segar maupun olahan.
Harga bahan
makanan yang stabil merupakan harapan masyarakat. Cabai termasuk salah satu
bahan pangan yang mempunyai harga sangat berfluktuasi. Fluktuasi tersebut disebabkan waktu tanam cabai yang
sangat dipengaruhi cuaca dan besarnya jumlah
penawaran dan besarnya jumlah permintaan. Semakin tinggi jumlah penawaran maka
harga akan rendah, sedangkan semakin sedikitnya jumlah penawaran harga akan
semakin meningkat. Anomali cuaca, terutama turunnya hujan mengakibatkan panennya
tidak maksimal dan bahkan mengalami gagal panen. Selain itu, intensitas sinar
matahari yang terbatas mengakibatkan produktivitas menurun. Penawaran komoditas cabai merah ini,
masih sangat tergantung dari jumlah cabai yang diproduksi. Sedangkan jumlah
produksi cabai yang dihasilkan sangat ditentukan oleh luas panen dan
produktivitas lahan.
Rekomendasi
kebijakan yang dapat disampaikan adalah pemerintah perlu mengembangkan
penanaman cabai di luar musim (off season),
pengaturan penanaman cabai dan mengembangkan kemitraan antara petani dan
industri. Selain itu juga mendorong tumbuhnya sentra-sentra produksi cabai di
luar Jawa dan menyediakan infrastruktur yang baik untuk distribusi.
B. Tujuan
Tujuan dari makalah ini adalah:
1.
Mengetahui gambaran umum kebutuhan cabai di masyarakat dan produksinya
2.
Mengetahui faktor yang menyebabkan fluktuasi harga cabai
3.
Mengetahui cara untuk mengatasi fluktuasi harga cabai dengan budidaya
C. Manfaat
Manfaat
makalah ini adalah:
1.
Mendapatkan informasi mengenai kebutuhan cabai masyarakat dan produksinya
2.
Mendapatkan informasi mengenai faktor penyebab fluktuasi harga
3.
Mendapatkan informasi mengenai budidaya cabai untuk mengatasi fluktuasi
harga.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Tanaman Cabai
Tanaman cabai keriting (Capsicum annum L) berasal dari dunia
tropika dan subtropika Benua Amerika, khususnya Colombia, Amerika Selatan, dan
terus menyebar ke Amerika Latin. Penyebaran cabai ke seluruh dunia termasuk
negara-negara di Asia, seperti Indonesia dilakukan oleh pedagang Spanyol dan
Portugis (Dermawan, 2010). Cabai merupakan tanaman perdu dari famili
terong-terongan yang memiliki nama ilmiah Capsicum
sp. Cabai berasal dari benua Amerika tepatnya daerah Peru dan menyebar ke
negara-negara benua Amerika, Eropa dan Asia termasuk Indonesia. Cabai keriting
merupakan salah satu komoditas hotikultura yang tergolong tanaman semusim.
Menurut Wiryanta (2002), klasifikasi tanaman cabai adalah sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyte
Sub divisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledoneae
Sub kelas : Sympetalae
Ordo : Solanales
Famili : Solanaceae
Genus : Capsicum
Spesies : Capsicum annum L.
Buah cabai dicirikan dengan
bentuk buah yang panjang dan ramping serta ujung buah lancip. Permukaan kulit
buah cabai berkerut dan cenderung mengeriting, dengan warna merah ketika buah
masak. Daging buah tipis dengan rasa pedas dan aroma yang menyengat. Daun
berukuran lebih kecil daripada cabai besar, dengan warna hijau sampai hijau
tua. Pertumbuhan tanaman mampu mencapai ketinggian 1.5 meter pada penanaman di tanah (Wahyudi,
2011).
Cabai rawit (Capsicum frutescens L.) memiliki
beberapa nama daerah antara lain : di daerah jawa menyebutnya dengan lombok
japlak, mengkreng, cengis, ceplik, atau cempling. Dalam bahasa Sunda cabai
rawit disebut cengek. Sementara orang-orang di Nias dan Gayo menyebutnya dengan
nama lada limi dan pentek. Secara internasional, cabai rawit dikenal dengan
nama thai pepper (Tjandra, 2011). Menurut
Simpson (2010), klasifikasi cabai rawit adalah sebagai berikut :
Kingdom : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Ordo : Solanales
Famili : Solanaceae
Genus : Capsicum
Spesies : Capsicum frutescens L.
- Syarat Tumbuh Tanaman Cabai
Tanaman cabai rawit sebagai
tanaman hortikultura membutuhkan Syarat pertumbuhan dalam kondisi tertentu agar
bisa tumbuh subur dan berbuah rimbun. Menurut Wahyudi (2011), syarat tumbuh
yang harus dipenuhi ketika membudidayakan cabai rawit adalah :
1. Tipe Tanah
Cabai rawit tumbuh baik di tanah bertekstur lempung, lempung berpasir, dan
lempung berdebu. Namun, cabai ini masih bisa tumbuh baik pada tekstur tanah
yang agak berat, seperti lempung berliat. Beberapa kultivar cabai rawit lokal
bahkan bisa tumbuh dengan baik pada tekstur tanah yang lebih berat lagi,
seperti tekstur liat berpasir atau liat berdebu. Menurut Tjandra (2011), tanah
yang tidak baik untuk penanaman cabai rawit adalah tanah yang strukturnya padat
dan tidak berongga. Tanah semacam ini akan sulit ditembus air pada saat
penyiraman sehingga air akan tergenang. Selain itu, tanah tidak akan memberikan
keleluasan bagi akar tanaman untuk bergerak, karena sulit ditembus akar
tanaman. Akibatnya, tanaman sulit menyerap air dan zat hara pada tanah. Jenis tanah
yang tidak baik untuk pertumbuhan cabai rawit antara lain : tanah liat, tanah
berkaolin, tanah berbatu, dan tanah berpasir.
2. Ketinggian dan Tempat
Penanaman
Karena sifat adaptasinya paling luas diantara jenis cabai, maka sebagian
besar cabai rawit bisa ditanam di dataran rendah hingga dataran tinggi. Namun,
cabai rawit yang ditanam di dataran tinggi akan mengalami umur panen dan masa
panen yang lebih lama, tetapi hasil panennya masih relatif sama dibandingkan
dengan jika kultivar yang sama ditanam di dataran rendah.
3. pH Tanah Optimum
Cabai rawit menghendaki tingkat kemasaman tanah optimal, yaitu tanah dengan
nilai pH 5,5 – 6,5. Jika pH tanah kurang dari 5,5, tanah harus diberi kapur
pertanian. Pada pH rendah, ketersediaan beberapa zat makanan tanaman sulit
diserap oleh akar tanaman, sehingga terjadi kekurangan beberapa unsur makanan
yang ahirnya akan menurunkan produktivitas tanaman. Menurut Tjandra (2011),
derajat keasaman tanah atau pH tanah nertal berkisar 6-7. Pada tanah dengan pH
rendah, sebagian besar unsur-unsur hara di dalamnya, terutama fosfor (P) dan
kalsium (Ca) dalam keadaan tidak tersedia atau sulit terserap tanaman. Kondisi
tanah yang masam dapat menjadi media perkembangan beberapa cendawan penyebab
penyakit tanaman seperti Fusarium sp.
dan Pythium sp.. Pengapuran juga
berfungsi menambah unsur kalsium yang sangat diperlukan tanaman. Kalsium
berfungsi mengeraskan bagian tanaman yang berkayu, merangsang pembentukan
bulu-bulu akar, mempertebal dinding sel buah, dan merangsang pembentukan biji
(Prajnanta, 2011).
4. Intensitas Cahaya dan
Sumber Air
Sama seperti tanaman hortikultura buah lainnya, tanaman cabai rawit juga
memerlukan lokasi lahan yang terbuka agar memperoleh penyinaran cahaya matahari
dari pagi hingga sore. Selain itu tanaman ini menyukai lahan dengan sistem
drainase yang lancar, terutama pada musim hujan. Menurut Sitompul dan Bambang
(1995), tanaman yang kurang cahaya akan mempunyai jumlah sel lebih sedikit
dengan habitus lebih tinggi dari tanaman yang memperoleh banyak cahaya.
III.
PEMBAHASAN
Cabai (Capsicum annuum L.) merupakan salah satu komoditas sayuran penting
dan bernilai ekonomi tinggi di Indonesia. Cabai merupakan sayuran sekaligus
rempah dapur yang selalu hadir dalam setiap hidangan yang kita jumpai. Cita
rasa cabai yang pedas menjadi salah satu ciri khas bumbu pada berbagai kuliner
Nusantara. Selain itu cabai juga dapat digunakan sebagai penghangat badan.
Cabai merupakan sayuran yang dikomsumsi setiap saat, sehingga cabai akan terus
dibutuhkan dengan jumlah yang semakin meningkat sering dengan pertumbuhan
jumlah penduduk dan perekonomian nasional (Ripangi 2012:10).
Menurut Tjahjadi (1990: 15), cabai merupakan
merupakan tanaman perdu dari famili Solanaceae yang berasal dari benua Amerika
tepatnya daerah peruh dan menyebar ke negara-negara benua Amerika, Eropa dan
Asia termasuk Negara Indonesia. Selain di Indonesia, ia juga tumbuh dan populer
sebagai bumbu masakan di Negara-negara Asia Tenggara lainya. Menurut Agriflo
(2012), dalam sistematika tumbuh-tumbuhan cabai diklasifikasikan sebagai
berikut :
Kingdom :
Plantae
Divisi :
Spermatophyta
Sub divisi : Angiospermae
Kelas :
Dicotyledonae
Sub Kelas : Sympetalae
Ordo :
Tubiflorae (Solanales)
Famili :
Solanaceae
Genus :
Capsicum
Spesies :
Capsicum annuum L., Capsicum frutescens,
Capsicum chinense, Capsicum pubescens,
Capsicum baccatum.
Tanaman cabai rawit menyukai daerah
kering dan ditemukan pada ketinggian 0,5-1.250 m dpl. Curah hujan yang sesuai bagi pertumbuhan
tanaman cabai berkisar antara 600 mm/tahun sampai 1.2500 mm/tahun. Curah hujan
yang terlalu tinggi menyebabkan kelembapan udara meningkat. Kelembapan udara
yang meningkat menyebabkan tanaman gampang terserang penyakit. Selain itu,
pukulan air hujan bisa menyebabkan bunga dan bakal buah berguguran yang
berakibat pada penurunan produksi (Harpenas, 2010). Agar berproduksi secara
optimal, tanaman cabai menghendaki tempat yang terbuka dan tidak ternaungi.
Cabai paling ideal ditanam dengan intensitas cahaya matahari antara 60% sampai
70%. Lama penyinaran yang paling ideal bagi pertumbuhan tanaman adalah 10-12
jam (daerah garis katulistiwa) (Agriflo, 2012). Buahnya digunakan sebagai
sayuran, bumbu masak, acar, dan asinan. Daunnya mudah dapat dikukus lalap, dan
cabai tersebut dapat diperbanyak dengan biji. Tanaman Cabai beradaptasi dengan
baik pada tanah berpasir, tanah liat, atau tanah liar berpasir. Bahan organik
baik berupa pupuk kandang atau kompos, sangat disukai tanaman cabai. Tanaman
cabai dapat bertoleransi dengan tanah masam (Ph 4-5) dan tanah basah (pH 8).
Selain produk segar, produk olahan cabai
juga banyak dibutuhkan oleh masyarakat. Produk olahan cabai yaitu saus, sambal,
cabai kalengan, cabai beku, bubuk cabai merah, ekstraksi capsaicin, dan
ekstraksi warna dari cabai. Oleh karena itu dibutuhkan strategi dan pengaturan
produksi cabai untuk meningkatkan produksi cabai baik pada musim tumbuh cabai
maupun off season.
Produksi cabai
menurut provinsi di Indonesia pada tahun 2012 sampai dengan 2016 disajikan
sebagai berikut :
Cabai
dapat tumbuh baik di dataran tinggi maupun dataran rendah. Akan tetapi, tanaman
cabai tidak tahan terhadap hujan, terutama pada waktu berbunga karena bunga-bunganya
akan mudah gugur (Sunarjono, 2010). Maka dari itu, umumnya produksi cabai pada
musim penghujan cenderung menurun. Hal ini akan berdampak pada kurangnya
pasokan cabai negara sehingga harga cabai meningkat drastis.
Perubahan
iklim sangat berpengaruh terhadap jumlah produksi cabai. Curah hujan yang
tinggi menyebabkan produksi yang semula mencapai 1.237 kg pada tahun 2009 turun
menjadi 615 kg di tahun 2010, atau terjadi penurunan produksi sebesar 49,72%.
Namun, kondisi sebaliknya terjadi pada harga per kilogram cabai rawit. Tahun
2010, rata-rata harga cabai rawit justru mengalami peningkatan menjadi Rp
54.146,/kg yang semula hanya Rp 8.427,-/kg pada tahun 2009, atau bisa dikatakan
terjadi kenaikan harga sebesar 642,53% (Maulidah, et. al., 2012).
Guna
mengatasi kurangnya pasokan cabai tersebut, maka perlu dilakukan beberapa
tindakan perawatan khusus pada saat budidaya di luar musim atau dalam hal ini
budidaya cabai pada musim penghujan. Sikap positif ini ditunjukkan dengan
melakukan tindakan nyata berupa perawatan tanaman cabai lebih intensif karena
berharap akan menjadi lebih baik dari kondisi yang semula kurang bagus.
Perlakuan tersebut antara lain: penyulaman tanaman, penambahan frekuensi
penyemprotan pupuk daun, lebih kerap melakukan penyiangan dan pengguludan, dan
memperbaiki drainase lahan. Adanya perlakuan-perlakuan tersebut, petani mampu
mempertahankan kondisi tanaman cabainya (Maulidah, et. al., 2012).
Fluktuasi
harga komoditas yang bersifat musiman terjadi hampir setiap tahun. Lonjakan
harga cabai disebabkan oleh pasokan yang berkurang, sementara permintaan tetap
dan terus berlanjut setiap hari, bahkan meningkat pada musim tertentu.
Fluktuasi harga cabai terjadi karena produksi cabai bersifat musiman, faktor
hujan, biaya produksi dan panjangnya saluran distribusi (Farid dan Subekti
2012). Sementara itu, disparitas harga cabai antar daerah terjadi karena pusat
produksi cabai terkonsentrasi di Jawa dan kualitas infrastruktur jalan kurang
memadai (Irawan 2007).
Upaya
untuk mengurangi lonjakan harga cabai adalah dengan tetap menyediakan pasokan
cabai yang cukup di pasar melalui penanaman cabai sepanjang musim, termasuk
pada musim hujan. Upaya pemerintah dalam mengatasi gejolak harga cabai dengan
melakukan upaya peningkatan luas tanam cabai pada musim hujan, pengaturan luas
tanam dan produksi cabai pada musim kemarau, stabilisasi harga cabai dan pengembangan
kelembagaan kemitraan yang andal dan berkelanjutan. Guna memenuhi seluruh
kebutuhan cabai tersebut diperlukan pasokan cabai yang mencukupi. Apabila
pasokan cabai kurang atau lebih rendah dari permintaan maka akan terjadi
kenaikan harga. Sebaliknya apabila pasokan cabai melebihi kebutuhan maka harga
akan turun (Tim Penulis Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian, 2015).
Permasalahan
harga pada komoditas cabai masih selalu terjadi. Ada indikasi bahwa di
Indonesia terjadi fluktuasi harga cabai dalam suatu periode tertentu dan juga
disparitas (perbedaan) harga cabai antar wilayah. Nuryani dan Yudha (2012)
mengemukakan bahwa perumusan dan implementasi kebijakan stabilisasi harga
membutuhkan informasi tentang fluktuasi dan disparitas harga yang terjadi
kerena perubahan harga di suatu pasar secara parsial ditransmisikan ke harga
yang terjadi di pasar-pasar lain. Dalam kurun waktu Januari 2010 sampai
Desember 2015, harga cabai berfluktuasi. Pada suatu waktu harga cabai naik
relatif cukup tinggi dan sebaliknya pada periode lainnya harga cabai sangat
rendah. Harga tersebut terjadi pada cabai merah keriting, cabai merah besar
maupun cabai rawit merah. Lonjakan harga terjadi terutama sekitar bulan
Desember - Januari dan Juni – Juli (Nauly, D. 2016).
Fluktuasi
harga sering terjadi akibat jumlah pasokan dan permintaan yang dibutuhkan tidak
seimbang. Jumlah pasokan yang tidak seimbang dapat disebabkan karena produsen
tidak mampu mengatur volume penawaran yang sesuai dengan permintaan konsumen.
Fluktuasi harga akibat jumlah pasokan yang tidak seimbang dapat diatasi dengan
cara mengembangkan dan menerapkan teknologi budidaya produksi diluar musim (off
season) (Bahar, 2009 dalam Widodo, A. dan Sugeng W., 2012).
Mencegah
terjadinya fluktuasi produksi dan fluktuasi harga yang sering terjadi dan
berakibat buruk terhadap pendapatan petani, maka perlu diupayakan budidaya yang
dapat berlangsung sepanjang tahun melalui budidaya di luar musim (off season).
Namun cara tersebut masih belum banyak diterapkan oleh pelaku produksi
hortikultura khususnya petani karena belum adanya dukungan informasi yang kuat
tentang keunggulan budidaya off season. Faktor yang menyebabkan petani
enggan untuk menerapkan budidaya off season adalah resiko kegagalan dan biaya
yang tinggi, baik biaya pembibitan, penyiapan lahan, perawatan tanaman, pupuk,
pengendalian hama, dan lain sebagainya. Faktor tersebut disebabkan karena
tingkat analisa dan cara perhitungan biaya investasi yang masih rendah sehingga
cara budidaya tersebut belum diminati oleh petani (Widodo, A. dan Sugeng W.,
2012).
Selain
itu, usahatani cabai yang di tanam di luar musim mempunyai resiko gagal panen
akibat serangan hama dan penyakit. Penyakit tanaman menjadi salah satu masalah
utama dalam setiap kegiatan budidaya tanaman. Timbulnya penyakit yang
diakibatkan oleh serangan patogen virus pada cabai masih merupakan penyebab
utama kegagalan panen, maka usaha untuk mengatasi penyakit cabai akibat virus
sangat perlu mendapat perhatian (Suryaningsih dkk.,1996 dalam Darmawan I, dkk.,
2014).
Namun
dukungan petani sangat diperlukan untuk mengembangkan dan menerapkan budidaya
tersebut untuk menghindari fluktuasi harga yang sering terjadi (Widodo, A. dan
Sugeng W., 2012). Produktivitas tanaman yang rendah dan serangan hama/penyakit
umumnya makin meningkat pada pertanaman di luar musim atau waktu off-season, yaitu
mulai bulan Desember sampai bulan April dalam kondisi iklim normal.
Keberhasilan usahatani bawang merah dan cabai merah di musim hujan, ditentukan
oleh kemampuan budidaya khususnya dalam mengatasi masalah hama/penyakit
tanaman, pemilihan varietas, pengolahan lahan yang tepat dan pemupukan tanaman
yang efisien. Pengenalan sifat cabai dari suatu varietas, khususnya kepekaan
terhadap hama dan/atau penyakit, memudahkan dalam pemilihan varietas yang akan
ditanam. Varietas cabai merah yang mampu beradaptasi dimusim hujan adalah
Kencana dengan keunggulan antara lain umur panen 95-98 hari setelah tanam, potensi
hasil 18-19 t/ha, dan beradaptasi baik pada dataran rendah sampai dengan tinggi
(Badan Litbang Pertanian, 2015).
Contoh kasus: Badan Litbang Pertanian telah menghasilkan beberapa teknologi
dan varietas cabai merah yang mampu berproduksi stabil dalam segala kondisi
ekstrim, beberapa varietas tersebut diantaranya Tanjung 2 dan Lingga. Kedua
varietas ini telah diperkenalkan kepada masyarakat oleh BPTP Balitbangtan
Sulawesi Tengah pada display kegiatan Pendampingan Kawasan Agribisnis
Hortikultura di Desa Labuan Toposo Kecamatan Labuan Kabupaten Donggala. Pada
display tersebut diperkenalkan pula budidaya off
season pada tanaman cabe dan
pengendalian hama dan penyakit yang ramah lingkungan. Agar teknologi ini dapat
menyebar luas di masyarakat, maka pada hari Rabu tanggal 12 April 2017 diadakan
panen perdana cabe dengan sistem budidaya off
season. Kegiatan ini
dihadiri oleh 143 peserta yang terdiri dari Staf Ahli Menteri Bidang
Perdagangan Dan Hubungan Internasional dan lainnya. Pengembangan cabai off-season di lahan kering, dimana upaya
pengembangan komoditas ini diharapkan mampu mengatasi penyediaan produksi cabai
sepanjang tahun. Budidaya cabai off-season di lahan kering merupakan suatu
terobosan teknologi untuk meningkatkan kesejahteraan petani, karena usahatani
cabai di lahan sawah pada musim hujan dianggap tidak efisien dan tidak
menguntungkan. Keberhasilan usahatani cabai off-season di musim hujan, selain
ditentukan oleh kemampuan SDM/Petani untuk melaksanakan budidaya khususnya
dalam mengantisipasi dan mengatasi masalah hama/penyakit tanaman, juga
ditentukan oleh dukungan teknologi mulai dari pemilihan varietas, pengolahan
lahan dan tananam yang tepat, pemupukan yang efisien, serta penanganan
pascapanen (Muharni, Masyitah dkk, 2017).
Budidaya cabai seharusnya dilakukan pada April-September (in
season). Saat itu curah hujan mulai menurun dan serangan hama penyakit
berkurang. Sedangkan pada Oktober-Maret (off season), produksi cabai
mengalami penurunan 40-50%. Kendala utama petani menanam cabai pada musim kemarau
karena masalah air. Pasalnya, cabai merupakan tanaman yang banyak membutuhkan
air, tapi tidak boleh berlebihan. Karena itu. petani lebih senang menanam cabai
pada musim penghujan, meski resiko gagal panen lebih tinggi dibandingkan musim
kemarau. Untuk mengantisipasi agar petani
mau menanam cabai di musim kemarau, ada alternatif yang pemerintah sarankan,
yakni sistem irigasi sprinkle (teknologi penyiraman secara semprot). Teknologi
sprinkle ini meliputi tampungan air/tangki, pompa air dan pipa.
Tidak dapat dipungkiri untuk menghemat biaya usaha tani,
petani cabai cenderung memilih tanam saat musim hujan. Namun yang patut petani
perhatikan saat menanam cabai musim penghujan harus lebih intensif, sebab saat
musim hujan lebih banyak penyakit yang timbul. Misalnya, penyakit patek,
penyakit karena bakteri Pseudomonas solanacearum hingga penyakit keriting
daun. Jadi meski cabai tergolong tanaman yang membutuhkan banyak air, tapi
tidak bisa tergenang air. Curah hujan yang baik untuk pertumbuhan tanaman cabai
merah adalah sekitar 600-1.200 mm/tahun.
Untuk mengatasi penyakit, banyak teknologi
seperti rain shelter yakni menggunakan plastik UV untuk memayungi pohon-pohon
cabai. Teknologi ini, bisa mencegah air hujan agar tidak langsung terkena
tanaman karena berbahaya. Sedangkan dalam
pembuatan naungan, harus dirancang sesuai kondisi cuaca di Indonesia. Bangunan
screenhouse merupakan bangunan semi permanen yang kerangkanya terbuat
dari bambu (Dinas Pertanian DIY, 2016).
IV.
KESIMPULAN
1. Cabai
dapat tumbuh baik di dataran tinggi maupun dataran rendah. Akan tetapi, tanaman
cabai tidak tahan terhadap hujan, terutama pada waktu berbunga karena bunga-bunganya
akan mudah gugur (Sunarjono, 2010). Maka dari itu, umumnya produksi cabai pada
musim penghujan cenderung menurun. Hal ini akan berdampak pada kurangnya
pasokan cabai negara sehingga harga cabai meningkat drastis.
2.
Fluktuasi harga cabai
terjadi karena produksi cabai bersifat musiman, faktor hujan, biaya produksi
dan panjangnya saluran distribusi Mengetahui cara untuk mengatasi fluktuasi harga cabai dengan budidaya.
3.
Fluktuasi
harga dapat diatasi dengan cara budidaya off season.
DAFTAR PUSTAKA
Agriflo.
2012. Cabai : Prospek Bisnis dan
Teknologi Mancan Negara. Penebar Swadaya Grup, Jakarta.
Badan
Litbang Pertanian. 2015. Budidaya Bawang Merah dan Cabai Merah Off-Season. http://www.litbang.pertanian.go.id/berita/one/1493/.
Diakses 16 Mei 2017 Pukul 11.51
Darmawan,
I. dkk. 2014. Pengaruh
Penggunaan Mulsa Plastik Terhadap Hasil Tanaman Cabai Rawit (Capsicum frutescens
L.) Di Luar Musim Di Desa Kerta. E-Jurnal
Agroekoteknologi Tropika. Vol.3, No.3: 148-157
Dinas Pertanian DIY. 2016. Teknologi
Cabai di Musim Hujan. http://distan.jogjaprov.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=8500:teknologi-cabai-di-musim-hujan&catid=39:berita&Itemid=512. Diakses 16 Mei 2017 Pukul 11.01
Harpenas,
Asep dan R. Dermawan. 2010. Budidaya
Cabai Unggul. Penebar Swadaya, Jakarta.
Heryani, Nani dkk. 2013. Pemberian Mulsa
dalam Budidaya Cabai Rawit di Lahan Kering: Dampaknya terhadap Hasil Tanaman dan Aliran
Permukaan. J. Agron. Indonesia. 41
(2) : 147 – 153
Kementerian
Pertanian RI. 2017. Produksi Cabe
Besar Menurut Provinsi, 2012-2016.(On-line) http://www.pertanian.go.id/Data5tahun/HortiASEM2016(pdf)/Produksi%20Cabai%20Besar.pdf
diakses pada tanggal 13 Mei 2017.
Kumar, S.D., R.L. Bhardwaj. 2012. Effect of mulching on crop
production under rainfed condition: A review. Int. J. Res. Chem. Environ. 2:8-20
Lino, Ellen. 2015. Pendapatan Dan
Fungsi Produksi Usaha Tani
Cabai Lahan Pasir, Studi Di
Dusun Ngepet, Desa Srigading, Kecamatan
Sanden, Kabupaten Bantul, DIY. Skripsi.
Program Studi Ekonomi Pembangunan. Fakultas Ekonomi Universitas Atma
Jaya. Yogyakarta
Maulidah,
Silvana, Heru Santoso, Hadi Subagyo, dan Qiki Rifqiyyah. 2012. Dampak Perubahan
Iklim Terhadap Produksi Dan Pendapatan Usaha Tani Cabai Rawit (Studi Kasus Di
Desa Bulupasar, Kecamatan Pagu, Kabupaten Kediri). Sepa. Vol. 8 No. 2.
Muharni,
Masyitah. 2017. Panen Perdana Cabe Off Season. http://sulteng.litbang.pertanian.go.id/ind/index.php/berita/4-info-aktual/556-panen-perdana-cabe-off-season.
Diakses 16 Mei 2017 Pukul 10.40
Nauly,
Dahlia. 2016. Fluktuasi Dan
Disparitas Harga Cabai Di Indonesia. Jurnal
Agrosains Dan Teknologi. Vol. 1 No. 1: 57-68
Nuryani, Y dan Yudha HN.2012. Variabilitas Harga Telur Ayam ras di
Indonesia. Buletin Ilmiah Litbang
Perdagangan. 6(2):235-252
Ripangi,
A. 2012. Budidaya Cabai. Javalitera, Yogyakarta.
Sunarjono,
Hendro. 2010. Bertanam 30 Jenis Sayuran. Penebar Swadaya, Depok.
Tim
Penulis Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian. 2015. Outlook Komoditas
Pertanian Subsektor Hortikultura Cabai. Pusat Data dan Sistem Informasi
Pertanian, Jakarta.
Tjahjadi,
N. 1990. Seri Budidaya Cabai.
Kanisius, Yogyakarta.
Widodo, A. dan Sugeng, W. 2012. Pembuatan Prototipe Perangkat Lunak Perhitungan Investasi Agribisnis Hortikultura Pada Off Season. Jurnal SNASTI: 95-103
Tidak ada komentar:
Posting Komentar