REKAYASA
TEKNOLOGI PRODUKSI TANAMAN PADA TANAMAN SALAK (Salacca edulis) DENGAN AGROFORESTI TANAMAN JABON (Anthocephalus cadamba)
Oleh
:
Abi
Daulah Haque (A1L014189)
Prisma
Nurul Ilmiyati (A1L014193)
Rike
Nur Septianty (A1L014199)
Muhhamad
W Fahrizal (A1L014207)
Rahmat
Rusdianto (A1L014209)
KEMENTERIAN
RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI
UNIVERSITAS
JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS
PERTANIAN
PURWOKERTO
2017
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha
Esa karena atas rahmat dan nikmat yang telah dilimpahkan kepada penulis,
sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah Rekayasa Teknologi
Produksi Tanaman Pada Tanaman Salak (Salacca edulis) Dengan Agroforesti
Tanaman Jabon (Anthocephalus cadamba)
Terselesainya makalah ini tidak lepas dari dukungan beberapa
pihak yang telah memberikan kepada penulis berupa motivasi, baik materi maupun
moril. Oleh karena itu, penulis bermaksud mengucapkan banyak terima kasih
kepada seluruh pihak yang telah membantu terselesaikannya makalah ini. Penulis
menyadari bahwa penyusunan makalah ini belum mencapai kesempurnaan, sehingga
kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan dari berbagai
pihak demi kesempurnaan makalah ini. Akhirnya penulis berharap semoga makalah
ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Penyusun
I.
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Buah salak merupakan tanaman budidaya yang cukup
terkenal di Indonesia. Komoditi salak yang merupakan jenis buah tropis asli
Indonesia ini menjadi komoditas unggulan dan terus dikembangkan. Di Indonesia
sendiri terdapat berbagai varietas salak diantaranya salak pondoh, salak gula
pasir, salak bali serta varietas lain yang mempunyai nilai komersial yang
tinggi. Pemerintah mempunyai peran penting untuk membuat kebijakan tentang
pengembangan dan budidaya tanaman salak di daerah sentra produksi. Pada umumnya
daerah-daerah sentra salak tersebut memproduksi buah salak yang khas.
Salah satu daerah sentra produksi komoditi salak pondoh
berada di Kabupaten Banyumas, yaitu di daerah Baturraden,
Purwokerto. Perkembangan jenis-jenis salak pondoh ini
meliputi rasa buahnya, ukuran buahnya, warna buahnya dan warna daging buahnya.
Kondisi lingkungan yang sesuai untuk budidaya salak meliputi kelembaban tinggi,
suhu, ketinggian, kesuburan tanah, dan terhindar dari genangan air. Potensi
komoditas tanaman salak meliputi buah sebagai sumber vitamin, bagian pelepahnya
sebagai bahan dasar kerajinan tangan, dan bagian batangnya dapat digunakan
sebagai bahan bangunan dan bahan bakar. Komoditas salak yang bernilai tinggi
ini juga harus memenuhi permintaan pasar untuk ekspor dengan kualitas terbaik.
Semakin tingginya permintaan pasar, maka kualitas salak harus ditingkatkan
pula. Hambatan dalam budidaya salak terdiri dari agroklimat dan hama yang
menyerang. Hama yang menyerang dapat terdiri dari kutu, kumbang penggerek
batang dan berbagai mikrofauna, mesofauna, dan makrofauna.
B. Tujuan
1.
Mengetahui permasalahan
tanaman salak di daerah Baturraden.
2.
Mengetahui rekayasa
teknologi yang dapat digunakan untuk mengatasi perrmasalahan budidaya tanaman
salak di Baturraden.
II.
PEMBAHASAN
A.
Tanaman Salak
Indonesia memiliki jenis atau ragam
buah-buahan yang sangat banyak. Salah satu diantaranya adalah buah salak.
Daerah asal tanaman salak tidak jelas diketahui secara pasti, tetapi
diperkirakan berasal dari Indonesia, Thailand, dan Malaysia. Ada juga yang
mengatakan bahwa tanaman salak (Salacca edulis) tanaman asli Indonesia
yang berasal dari Pulau Jawa. Sejak kapan tanaman dibudidayakan belum pasti
diketahui secara pasti. Di Indonesia, bercocok tanam salak sudah dikenal sejak
zaman kolonial Belanda. Tanaman salak banyak memiliki varietas yang diantaranya
memiliki sifat unggul baik dari segi rasa maupun penampilan buahnya. Sampai
saat ini banyak sentra produksi buah salak yang cukup terkenal seperti di Pulau
Jawa dan Bali, Provinsi Sulawesi Selatan, Yogyakarta, dan Sumatera Utara (Tim
karya tani mandiri, 2010).
Salak (Salacca edulis) merupakan tanaman asli daerah
Asia Tenggara yang sangat populer di Indonesia dan mempunyai prospek yang baik
untuk pasaran dalam negeri maupun luar negeri. Buah salak harus dipetik pada
tingkat ketuaan yang optimum, sebab buah salak yang masih muda umumnya
mempunyai rasa sepat yang menonjol sekali. Pada tingkat ketuaan optimum rasa
sepatnya hilang dan berubah menjadi manis dengan sedikit rasa asam serta
mengeluarkan aroma yang harum. Namun ada perkecualian khusus untuk salak pondoh
bahwa walaupun masih muda rasanya manis dan tidak sepat (Tim karya tani
mandiri, 2010).
Salak adalah sejenis palma dengan buah yang biasa
dimakan. Dikenal juga sebagai salak, dalam bahasa Inggris disebut snake
fruit karena kulitnya mirip dengan sisik ular, sementara nama ilmiahnya
adalah Salacca zalacca, tetapi ada sebagian sumber juga menyebutkan nama
ilmiah salak adalah Salacca edulis (Tim karya tani mandiri, 2010).
Banyak varietas salak yang bisa tumbuh di Indonesia. Ada yang masih muda sudah
terasa manis. Varietas unggul yang telah dilepas oleh pemerintah untuk
dikembangkan adalah salak Pondoh, Swaru, Nglumut, Enrekang, Gula batu (Bali),
dan lain-lain (Tim karya tani mandiri, 2010).
Salak tumbuh baik di dataran rendah hingga ketinggian
700 m di atas permukaan air laut (dpl) dengan curah hujan rata-rata per tahun
200-400 mm/bulan. Tanaman salak menyukai tanah yang subur, gembur, dan lembab,
dengan derajat keasaman tanah (pH) 4,5-7,5 dengan kondisi tanah yang
kelembabannya tinggi. Buah salak dapat dipanen setelah matang benar dipohon,
biasanya berumur enam bulan setelah bunga mekar. Hal ini ditandai oleh sisik
yang telah jarang, warna kulit buah merah kehitaman atau kuning tua, dan
bulu-bulunya telah hilang. Ujung kulit buah (bagian buah yang meruncing) terasa
lunak bila ditekan. Tanda buah yang sudah tua menurut sumber lain adalah
warnanya mengkilat, bila dipetik mudah terlepas dari tangkai buah, dan aroma
khas salak cukup kuat. Pemanenan buah salak yakni dengan cara memotong tangkai
tandannya (Tim karya tani mandiri, 2010).
Menurut Soetomo (2001), Buah salak mengandung nilai gizi
tinggi. Dalam setiap 100 gram nilai gizinya terdiri dari:
Tabel 1. Kandungan Gizi Salak Setiap 100 gram
Salak (Salacca edulis) merupakan
sumber serat yang baik dan mengandung karbohidrat. Rasa buahnya manis, dan
memiliki bau dan rasa yang unik. Salak mengandung zat bioaktif antioksidan
seperti vitamin A dan vitamin C, serta senyawa fenolik. Salak memiliki umur
umur simpan kurang dari seminggu karena proses pematangan buahnya cepat dan
mengandung kadar air yang cukup tinggi yakni sekitar 78% (Ong dan Law, 2009).
Kerusakan buah salak ditandai dengan bau
busuk dan daging buah salak menjadi lembek serta berwarna kecoklat-coklatan.
Untuk menghambat kerusakan yang tejadi pada buah salak, maka diperlukan
penanganan pascapanen yang meliputi pengumpulan, penyortiran, penggolongan,
pengemasan dan pengangkutan (Tim karya tani mandiri, 2010).
B.
Tanaman
Jabon (Anthocephalus cadamba Miq)
Tanaman jabon (Anthocephalus cadamba Miq) merupakan jenis tanaman cepat tumbuh,
pemanfaatan kayunya sudah dikenal luas oleh masyarakat, dan teknik silvikulturnya
telah diketahui. Jabon tergolong tumbuhan pionir. Jenis ini tersebar di seluruh
Indonesia terutama di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Papua. Jenis ini juga
ditemukan di Philipina, Papua New Guinea dan Kepulauan Solomon. Tumbuh di hutan
hujan dataran rendah dan hutan sekunder atau tepi jalan
logging. Pada distribusi alaminya, tanaman ini tumbuh baik pada ketinggian
0-1.000 m dpl dengan rata-rata curah hujan sekurang-kurangnya 1.500 mm/tahun atau
wilayah beriklim basah hingga agak kering (tipe iklim A-C). Tumbuh di tanah alluvial
atau tanah lembab di tepi sungai, dan tanah bertekstur liat atauliat berpasir. (Soerianegara and Lemmens,1994).
Keunggulan pohon jabon lainnya yaitu tahan
terhadappenyakit karat tumor yang umumnya menyebabkan kematian terhadap pohon sengon. Penyakit ini
pertama kali ditemukan di Indonesia pada tahun 1996 di Pulau Seram, Maluku.
Penyakit ini menyerang sengon sejak dipersemaian hingga tanaman dewasa. Penyakit
ini disebabkan oleh cendawan yang bernama Uromycladium
tepperianum yang kemudian menyebar dari Seram ke perkebunan
kopi di Timor Leste, dimana pada saat itu sengon digunakan sebagai
tanaman penaung dan kerusakan yang diakibatkan oleh penyakit karat tumor
dengan tingkat serangan 90%. Penyakit ini selanjutnya menyebar ke Soroako,
Sulawesi Selatan, Jawa Timur hingga akhirnya meluas di sentra-sentra
perkebunan Sengon di Jawa. Tercatat 600.000 sengon
di lahan seluas 15 ha tidak dapat diselamatkan dalam jangka waktu 2 bulan di Desa Tlogopucang, Kecamatan Kandangan, Kabupaten Temanggung,
Jawa Tengah pada tahun 2007 akibat penyakit karat tumor. (Trubus, 2010).
C.
Rekayasa
Teknologi Produksi Tanaman Agroforestri Salak dengan Jabon
Salah satu Rekayasa teknologi produksi tanaman dengan agroforestri dalam
sistem pertanian berkelanjutan adalah antara tanaman salak dengan tanaman jabon
yang akan dapat diterapkan di Daerah Baturraden, Kabupaten Banyumas. Pemilihan
jenis tanaman seperti salak dan jabon ini didasarkan pada nilai ekonomi yang banyak
disukai dan harga yang cukup tinggi, selain itu tanaman ini cocok dengan kondisi
tanah di Daerah Baturraden dengan ketinggian sekitar 600 mdpl. Pengembangan
hutan rakyat dilihat dari segi ekonomi selain menguntungkan dalam hal jenis
tanaman yang mempunyai nilai ekonomi tinggi juga menguntungkan dari segi
pengelolaan yang membutuhkan biaya lebih kecil dibandingkan pengembangan untuk
lahan pertanian. Menurut Hardjanto (2006), praktek agroforestri secara
perorangan banyak tersebar di Jawa - Madura dengan perbedaan kombinasi jenis
yang ditanam serta pilihan jenis kayu/pohon sebagai jenis dominan.
Dalam rekayasa ini menggunakan agroforestri dengan
jabon, karena pertumbuhannya yang lebih cepat daripada sengon. Dengan manfaat
yang lebih banyak daripada sengon yang sama-sama dapat menjadi naungan untuk
tanaman salak yang tidak begitu tahan dengan sinar matahari secara langsung. Kayu Jabon termasuk kayu lunak dengan berat jenis
rendah sampai sedang. Menurut BPTH Sulawesi (2011) kayu Jabon merah
tergolong pada kelas kayu kuat I sampai II. Dari sisi keawetan
termasuk golongan kelas IV dan dari sisi keterawetan (kemampuan
pori-pori kayu untuk menyerap
bahan pengawet) tergolong sedang. Dibandingkan dengan Sengon,
kekuatan dan keawetan kayu ini lebih baik. Kayunya yang berwarna putih kemerahan dengan tekstur
yang halus tanpa
terlihat seratnya sangat sesuai bagi industri pulp dan kertas, venir, kayu lapis (plywood), industri meubel, peti
buah, mainan anak-anak, korek api, alas sepatu, papan, dan produk kayu lainnya.
Warnanya yang
kemerahan dan juga arah serat kayunya yang lurus mebuat kayu Jabon sangat bagus untuk dibuat venir. Venir kayu Jabon dapat
digunakan dengan baik sebagai face atau back pada industri kayu lapis. Dengan warnanya yang kemerahan kayu lapis Jabon
sering digunakan
sebagai pengganti kayu lapis dari bahan kayu Meranti merah yang semakin langka. Kayu lapis Jabon memenuhi syarat
dan standar baku
pasar Eropa, Amerika, Korea dan Jepang. Oleh karena itu di
Baturraden yang semula tanaman salak yang dengan tegakan tanaman sengon dan
tanaman lainnya (wanatani / kebun campur) lebih baik dengan tanaman jabon
dengan berbagai macam fungsinya. Selain itu dengan satu tanaman yang pasti
pertumbuhan dan manfaatnya akan dapat mengatasi permasalahan petani tentang
hasil produksi dan keefektifan dalam melakukan produksi tanaman.
Dimasa yang akan datang apabila persepsi masyarakat terhadap keuntungan
budidaya salak semakin tinggi, besar kemungkinan sistem agroforestri salak dan
jabon dapat berubah menjadi lahan dengan sistem pengelolaan monokultur salak.
Walaupun monokultur salak memiliki keuntungan finansial yang cukup tinggi namun
pengelolaan hutan dengan sistem agroforestri tetap lebih banyak memberikan
keuntungan tidak hanya secara ekonomi namun keuntungan ekologi dan sosial.
Sebenarnya tanaman jabon masih dapat berkontribusi memberikan keuntungan yang
besar kepada petani di Daerah Baturraden, karena dari 100% pohon jabon yang ada
dilahan hanya 59% yang dipanen sesuai daur sehingga apabila mengabaikan factor
kerugian akibat serangan hama masih ada sebanyak 41% pohon jaboon petani masih
memiliki “tabungan” berupa pohon jabon yang sengaja tidak dipanen selama daur
10 tahun. Selain itu Hardiatmi (2008) menyebutkan beberapa keuntungan
agroforestri diantaranya adalah keuntungan secara ekologi berupa kualitas lahan yang semakin subur dan
produktif karena selalu memperoleh penambahan bahan organik dari dedaunan yang
gugur serta stabilitas tanah juga dapat lebih baik dengan adanya perakaran
tanaman berkayu, sedangkan keuntungan sosial berupa kekuatan ikatan psikologis
masyarakat yang tinggal disekitar hutan semakin peduli dan bertanggungjawab
terhadap hutan. Budiastuti (2013) mengungkapkan kelebihan dari agroforestri
yaitu tingkat variasi tanaman dalam sistem agroforestri akan menciptakan
tingkat stratifikasi tajuk yang tinggi pula, sehingga perbedaan tingkat
stratifikasi tajuk dapat mengurangi kecepatan dan kekuatan pukulan bulir air
hujan yang jatuh ke tanah.
III. PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Sistem Agroforestri budidaya tanaman salak di
Baturraden dengan tanaman jabon adalah salah satu jenis rekayasa dalam
meningkatkan produksi di kalangan petani tanaman salak di baturraden.
2. Sistem Agroforestri dengan jabon memiliki manfaat
yang lebih di bandingkan dengan tanaman tegakan lain seperti sengon, pinus dan
tanaman tahunan lainnya.
3. Dengan adanya rekayasa produksi tanaman salak dengan
jabon menjadikan permasalahan petani tentang hasil produksi dapat teratasi
dengan memiliki dua jenis tanaman yang dapat di panen secara lebih cepat dan
saling mutualisme dalam proses pertumbuhannya.
DAFTAR PUSTAKA
Anarsia W. 1996. Agribisnis
Komoditas Salak. PT Bumi Aksara. Jakarta.
BPTH Sulawesi. 2011. Anthocephalus macrophyllus (Roxb.)
Miq.
Informasi singkat benih No 126. November 2011.
Budiastuti S. 2013. “Sistem Agroforestry Sebagai
Alternatif Hadapi Pergeseran Musim Guna Mencapai Keamanan Pangan”. J ekosains Vol. V No.1.
Budiastuti
S. 2013. “Sistem Agroforestry Sebagai Alternatif Hadapi Pergeseran Musim Guna
Mencapai Keamanan Pangan”. J ekosains Vol.
V No.1.
Hardiatmi S.
2008. “Kontribusi Agroforestry Dalam Menyelamatkan Hutan dan Ketahanan Pangan
Nasional”. J Inovasi Pertanian Vol.
7, No. 1, (26-32).
Hardjanto.
2001. “Kontribusi Hutan Rakyat Terhadap Pendapatan Rumah
Tangga di Sub DAS Cimanuk Hulu”. Jurnal Manajemen Huran Tropika Vol. VII
No. 2 : 47-46.
Mulyana D, Asmarahman C. 2010. 7 Jenis Kayu Penghasil Rupiah. Agromedia Pustaka. Jakarta.
Ong, S.P dan Law, C.L. 2009.
Mathematical Modelling of Thin Layer Drying of Snakefruit, Journal of Applied Sciences Vol. 9 Edisi
17 Hal. 3048-3054.
Santoso, I. 2012. Strategi
Penelitian Wanatani (Agroforestry)
di Indonesia. Kementerian Kehutanan. Jakarta.
Sapulete. E dan
Kapisa, N. 1994. Informasi Teknis Tanaman Jabon (Anthocephalus cadamba Miq.). Buletin Penelitian Kehutanan 10:183-195.
Soerianegara,I.dan RHMJ
Lemmens (eds.). 2005. Plant resources of South-East Asia. Timber
trees : Major commercial timbers 5 (1): 102 – 108. Prosea. Bogor.
Soetomo, Moch, H.A. 2001. Teknik
Bertanam Salak. Sinar Baru Algesindo. Bandung.
Tim Karya Mandiri. 2010.
Pedoman Budidaya Buah Salak. CV Nuansa Aulia. Bandung.
Trubus . 2010. Jabon: Laba segar masa depan. Edisi
448, Juli 2010. PT Trubus Swadaya.
Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar