I.
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Karet (Hevea
brasiliensis Muell.-Arg) berasal dari Brazilia, Amerika
Selatan, mulai dibudidayakan di Sumatera Utara pada tahun 1903 dan di Jawa pada
tahun 1906. Tanaman ini berasal dari sedikit semai yang dikirimkan dari Inggris
ke Bogor pada tahun 1876, sedangkan semai-semai tersebut berasal dari biji
karet yang dikumpulkan oleh H. A. Wickman, kewarganegaraan Inggris, dari
wilayah antara Sungai Tapajoz dan Sungai Medeira di tengah Lembah Amazon
(Semangun, 2000).
Berdasarkan kajian
yang dilakukan oleh Universitas Free, Belanda, pada tahun 2020 mendatang
kebutuhan karet dunia mencapai lebih dari 13,472 juta ton karet alam. Padahal
kemampuan negara-negara produsen karet alam untuk memenuhinya hanya sekitar 7.8
jut ton. Bagi Indonesia, meningkatnya kebutuhan karet alam dunia memberikan
harapan yang cerah karena peluang untuk mengisi pasar internasional semakin
terbuka (Semangun, 2000).
Di Indonesia karet
alam merupakan komoditas strategis terutama ditinjau dari total area (3,1 juta
ha), sumber devisa (lebih dari 1 milyar US$), jumlah penduduk yang mata
pencariannya bergantung pada perkaretan (12 juta jiwa) dan perannya sebagai
pelestari lingkungan (Setyamidjaja, 1993). Selain sebagai sumber devisa, karet
juga digunakan untuk bahan baku di dalam negeri terutama untuk industri ban
(Setyamidjaja, 1993).
Sebagai negara
produsen kedua terbesar di dunia pada saat ini, Indonesia berpeluang besar
untuk menjadi produsen utama dalam dekade-dekade mendatang. Potensi ini
dimungkinkan karena Indonesia mempunyai sumber daya yang sangat memadai untuk
meningkatkan produksi dan produktivitas, baik melalui pengembangan areal baru
maupun melalui peremajaan areal tanaman menggunakan klon-klon unggul. Namun,
harapan ini akan berjalan dengan baik jika langkah-langkah strategis penanganan
operasional dapat dilaksanakan dengan baik. Pada saat yang sama, negara-negara
pesaing Indonesia dengan sistem kelembagaan peremajaan tanaman karetnya yang
lebih mapan, juga sedang menata diri untuk merebut pasar karet yang sangat
prospektif dalam dua dekade mendatang (Depertemen Pertanian, 2007).
Dengan melihat pentingnya komoditi karet
dimasa mendatang, maka diperlukan pengetahuan yang memadai tentang anatomi
tanaman karet secara baik guna menunjang perkembangan perkebunan Karet di
Indonesia.
B. Tujuan
Mahasiswa
mampu mengetahui dan memahami anatomi batang tanaman karet ( Hevea brasiliensis ).
II.
ISI
A. Deskripsi Tanaman Karet
Tanaman karet adalah tanaman daerah
tropis. Daerah yang cocok untuk tanaman karet adalah pada zone antara 150 LS
dan 150 LU. Bila di tanam di luar zone tersebut, sehingga memulai
pertumbuhannya pun lebih lambat, sehingga memulai produksinya pun lebih lambat
(setyamidjaja, 1993).
Tanaman karet merupakan pohon yang
tumbuh tinggi dan berbatang cukup besar. Tinggi pohon dewasa mencapai 15-25 m.
Batang tanaman biasanya tumbuh lurus dan memiliki percabangan yang tinggi di
atas. Di beberapa kebun karet ada kecondongan arah tumbuh tanamannya agak
miring kea rah utara. Batang tanaman ini mengandung getah yang dikenal lateks
(Anonim, 1999).
Memang, tanaman karet tergolong mudah
diusahakan. Apalagi kondisi Negara Indonesia yang beriklim tropis, sangat cocok
untuk tanaman yang berasal dari Daratan Amerika Tropis, sekitar Brazil. Hampir
di semua daerah di Indonesia, termasuk daerah yang tergolong kurang subur,
karet dapat tumbuh baik dan menghasilkan lateks. Karena itu, banyak rakyat yang
berlomba-lomba membuka tanahnya untuk dijadikan perkebunan karet.
Luas lahan karet yang dimiliki Indonesia
mencapai 2,7-3 juta hektar. Ini merupakan lahan karet yang terluas di dunia.
Perkebunan karet yang besar banyak diusahakan oleh pemerintah serta swasta.
Sedangkan perkebunan-perkebunan karet dalam skala kecil pada umumnya dimiliki
oleh rakyat. Sayangnya, perkebunan karet rakyat tidak dikelola dengan baik.
Boleh dibilang pengolahan yang dilakukan hanya seadanya. Setelah ditanam, karet
dibiarkan tumbuh begitu saja, perawatannya kurang diperhatikan. Tanaman karet
tua jarang yang diremajakan dengan klon baru. Itulah sebabnya produktivitas perkebunan
rakyat masih sangat rendah. Yang lebih memprihatinkan lagi adalah mutu karet
olahan yang dihasilkan (Anonim, 1999).
Menurut Cahyono, dalam ilmu tumbuhan, tanaman
karet diklasifikasikan sebagai berikut : (Cahyono, 2010).
Kingdom/Philum : Plantae
(tumbuh-tumbuhan)
Divisi : Spermatophyta (tumbuhan berbiji)
Sub divisi : Angiospermae (biji berada dalam buah)
Kelas : Dycotyledonae
(biji berkepin dua)
Ordo : Euphorbiales
Famili : Euphorbiales
Genus : Hevea
Spesies : Hevea bransiliensis
B.
Anatomi
dan Bagian-Bagian Batang Tanaman Karet
Kulit batang karet pada batang pohon yang
telah matang sadap dari luar menuju kedalam kearah kambium tersusun dengan
urutan sebagai berikut : (Setyamidjaja, 1993).
·
Kulit gabus, yang merupakan lapisan
paling luar dari batang
·
Kulit keras yang terdiri atas sel-sel
batu parensim, pembuluh tapis, dan saluran lateks yang tidak teratur
·
Kulit lembut dimana terdapat
saluran-saluran lateks dan
·
Kambium.
a. Batang atas
Batang
atas untuk perkebunan haruslah menggunakan klon-klon anjuran. Diantaranya yaitu
GT 1 dan AVROS 2037. Pemilihan batang
atas harus jelas diketahui asalnya, karena dari batang atas inilah akan
diperoleh sadapan yang baik (Marsono dan Sigit, 2005).
Untuk
mendapatkan bahan tanam hasil okulasi yang baik diperlukan entres yang baik,
Pada dasarnya mata okulasi dapat diambil dari dua sumber, yaitu dari entres
cabang kebun entres
dan entres dari kebun produksi.
Dari dua macam sumber mata okulasi ini sebaiknya dipilih entres dari
kebun entres murni, karena kelemahan diantaranya entres cabang
dari kebun entres akan
menghasilkan tanaman yang pertumbuhannya tidak seragam, mudah terserang hama
dan penyakit, membutuhkan jumlah air yang banyak dan
keberhasilan okulasinya rendah. Mata entres dari kebun entres murni
lebih baik karena akan menghasilkan tanaman yang seragam (Anwar, 2006).
Pemupukan
tanaman bahan okulasi bertujuan untuk memperoleh pertumbuhan kayu okulasi yang
baik, yang memiliki jumlah mata tunas yang banyak untuk tiap satuan panjang kayu bahan okulasi
(entres). Pemupukan diberikan tiap tiga
bulan sekali dengan dosis pemupukan yang dianjurkan adalah: Tahun pertama; 20
gram ZA (10 gram
Urea)+ 10 gram TSP+10 gram ZK (10 gram KCI) per pohon. Tahun kedua; 30
gram ZA (15 gram
Urea)+15 gram TSP+15 gram ZK (15
g KCI) per pohon (Semoiraya, 2010).
b. Kulit Pohon
a. Seri
kulit
Kulit pohon karet yang disadap
dibagi menjadi 4 kulit, yaitu :
1. Seri kulit
A : kulit
perawan atau kulit
pulihan purna (licin
dan tidak berbenjol) untuk sadap
bawah normal
2. Seri
kulit B : kulit pulihan agak berbenjol, kurang rata dan kurang sempurna untuk
sadap normal
3. Seri kulit
C : kulit
berbenjol agak tipis
untuk disadap ATS
atau Upward Tapping
4. Seri
kulit D : kulit berbenjol-benjol sangat tipis disadap mati
b.
Tebal kulit
1. Ketebalan
kulit untuk pohon dengan pertumbuhan normal adalah 7 mm dan pada pohon di tanah
tandus 6 mm
2. Pada
renewed bark pemulihan kulit pertama dalam 7 tahun dapat mencapai 7 mm, sedang
untuk pemulihan kedua 8 tahun
3. Secara ekonomis
tebal kulit pohon
harus mencapai 7 mm, pemulihan
kulit yang tipis tidak
menguntungkan.
Gambar 2.1 Struktur Batang Tanaman Karet
Keterangan gambar :
1.
Kambium gabus
2.
Xilem sekunder
3.
Kayu musim kemarau
4.
Kayu musim hujan
5.
Pepagan
6.
Floem
7.
Kambium pembuluh
8.
Tahun ke-1
9.
Tahun ke-2
10.
Tahun ke-3
11.
Tahun ke-4
12.
Tahun ke-5
13.
Tahun ke-6
14.
Tahun ke-7
15.
Tahun ke-8
16.
Kayu dan xilem primer
c.
Konsumsi Kulit
Konsumsi
kulit untuk bidang
sadap bawah diukur
secara vertikal pada
bidang sadap. Tingkat konsumsi
kulti ditentukan oleh
sistem sadap yang
digunakan. Karena kulit pohon
merupakan modal utama
bagi usaha budidaya
tanaman karet, masalah menejemen pemakaian
kulit harus medapatkan
perhatian khusus. Penyadpan
dengan penggunaan kulit yang baik dan teratur akan dapat mewujudkan umur
ekonomis pohon karet yang optimal.
d.
Kedalaman Sadapan dengan struktur kulit karet
Untuk mendapatkan hasil
yang maksimal, penyadapan
dilakukan dengan kedalaman 1
– 1,5 mm
dari kambium. Karena
pada kedalaman tersebut
terdapat pembuluh lateks paling banyak. Oleh karena
itu menyadap dangkal,
yaitu 1,5 mm
dari kambium hanya dapat menghasilkan 48% dari produksi maksimum.
C.
Lateks
Lateks
adalah cairan putih dari pohon karet yang diambil dari tanaman pada proses
penyadapan. Lateks berguna bagi tanaman sebagai bahan pengawet (preservative).
Lateks dibentuk dalam pembuluh lateks. Pembuluh ini terdiri dari 2 macam.
Pertama pembuluh lateks yang berasal dari 1 sel yang kemudian bercabang-cabang
membentuk suatu pembuluh seperti amuba. Pembuluh lateks seperti ini disebut
pembuluh lateks simple, misalnya terdapat pada biji. Kedua pembuluh lateks yang
berasal dari deretan sel-sel dimana dinding-dinding sel kearah tegak lurus
masing-masing melebur membentuk suatu pembuluh. Pembuluh lateks ini disebut
pembuluh kompoun dan inilah yang terdapat pada tanaman karet yaitu pada kulit
lunak dan kulit keras (Lukman, 1984).
a.
Pembuluh Lateks
Pembuluh lateks mengandung pembuluh
dengan dinding yang permanen dan elastis. Sebelum melakukan penyadapan tekanan
didalam pembuluh lateks tinggi. Pengaliran lateks disebabkan karena tekanan
dalam pembuluh serta pergerakan cairan lateks akibat perbedaan konsentrasi setelah pohon disadap.
Pada mikroskop elektron dapat dilihat partikel lateks yang rusak akan
mengeluarkan lateks (Southorn, 1961).
Jika penampang melintang tanaman karet
dipelajari, bagian tengah terdapat jaringan kayu (xylem) yang dilapisi oleh
kambium. Pada bagian luar dijumpai kulit lunak yang menyusul kulit keras pada
kulit luar sel gabus sebagai lapisan terakhir. Di dalam kulit lunak tersebut
terdapat sederetan pembuluh tapis atau floem yang berdiri agak condong ke
kanan.
Menurut
Southorn (1961), lateks merupakan suatu sistem pembuluh berupa pipa
saluran di dalam jaringan floem yang halus dari karet. Pembuluh ini berada
dekat dengan kambium, pertama-tama membentuk sel tunggal lalu membentuk suatu
jaringan pembuluh melalui anatomisis. Gills dan Suharto (1976) menyatakan bahwa
semakin dekat dengan kambium maka aliran pembuluh semakin kecil dengan ukuran
30 mikron.
Baik ketebalan asli maupun jumlah baris
pembuluh lateks yang ada di dalam semakin meningkat dan bertambahnya usia
tanaman. Jumlah baris pembuluh lateks pada prinsipnya merupakan cirri khas
suatu klon tetapi perkembangannya tergantung pada tingkat pertumbuhan tanaman
yang dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti kepadatan tanaman dan status hara
dan juga oleh klon (Webster dan Baulkwill, 1989).
b. Struktur Lateks
Lateks merupakan suatu sistem koloid
yang bermuatan negatif berupa serum yang berisi protein anionik yang membentuk
suatu badan yang dikelilingi oleh membran (lutoid) yang merupakan suatu sistem
koloid kedua yang mengandung asam yang kebanyakan cation serum (Southorn dan
Yip, 1968).
Menurut Subronto dan Napitupulu (1978),
menayatakan bahwa lateks mengalir karena adanya proses pengenceran sebelum
disadap tugor tanaman adalah tinggi akan tetapi setelah disadap menjadi penurunan
tugor terutama dalam sel pembuluh lateks. Semakin tinggi tugor antara sel
sekitar pembuluh maka proses pengenceran semakin lama.
Dijkman (1951), melaporkan bahwa lateks
yang keluar dari organ muda lebih sedikit mengandung karet bila dibandingkan
dengan lateks yang keluar dari kulit batang tanaman yang berumur 5-10 tahun,
tetapi proses penggumpalan lateks lebih lama terjadi pada lateks yang keluar
dari organ muda, sebab partikel dari organ ini sangat sedikit dan viskositas
lateksnya lebih rendah.
c. Aliran Lateks
Pembuluh lateks adalah sel-sel hidup yang
mengandung larutan seperti gula, protein dan garam mineral yang dapat menyimpan
air dari jaringan yang berada disekitarnya. Ketika tanaman karet disadap lateks
berhenti beberapa saat. Adapun faktor yang berhubungan dengan aliran lateks,
yaitu :
1. Fisiologi
Aliran Lateks
Sifat-sifat
fisiologi aliran lateks antara lain dicirikan oleh indeks penyumbatan,
kecepatan aliran lateks, indeks produksi, kadar karet kering, total solud
konten serta anatomi kulit yang meliputi jumlah, diameter dan kerapatan
pembuluh lateks (Rasjidin, 1989).
2. Proses
Pengaliran Lateks
Apabila
suatu alur sadap dibuka maka keluarlah lateks oleh tekanan dari dalam.
Pengurangan terjadi secara berlanjutan sepanjang pembuluh lateks sehingga mengalirnya
lateks menuju bagian yang dipotong. Pada saat yang sama akibat menurunnya
tekanan dalam sel pembuluh lateks maka mengalirlah air ke dalam pembuluh dari
sel sekelilingnya sehingga mengencerkan lateks (Rasjidin, 1989).
3. Daerah
Aliran Lateks
Penelitian
fisiologi tentang luasnya daerah pengaliran lateks yang secara efektif turut
serta mengalirkan lateks selama penyadapan dilakukan oleh Frey Wysling (1993)
dan Scheweizer (1941) hasil penelitiannya disimpulkan bahwa daerah aliran
lateks hampir seluruhnya terdapat dibawah alur sadap hanya sebagian kecil dari
samping alur sadap, luasnya tergantung kapasitas produksi pohon yang
berproduksi tinggi daerah pengaliran pengaliran vertikal mencapai 171 cm
(Rasjidin, 1989).
4. Indeks
Penyumbatan
Indeks
penyumbatan dan panjang alur sadap sewaktu penyadapan juga menentukan pola
aliran lateks. Semakin panjang alur sadapan, indeks penyumbatan semakin kecil
sehingga lateks yang mengalir lebih lama. Sebaliknya semakin pendek alur sadap,
indeks penyumbatan semakin besar. Sebab utama terjadinya penyumbatan pembuluh
lateks adalah pecahnya butir lutoid yang terdapat dalam lateks akibat gesekan
yang terjadi ketika lateks mengalir. Terjadinya penyempitan pada pembuluh
lateks kemungkinan dapat mengganggu aliran lateks sehingga menyebabkan pola
aliran lateks untuk setiap klon berbeda (Boerhendy, 1988).
Indeks
penyumbatan merupakan sifat khas yang tidak dipengaruhi oleh umur tanaman,
tetapi sedikit dipengaruhi oleh faktor lingkungan akibat terjadinya variasi
produksi antara pohon dan variasi harian (Subronto dan Napitupulu, 1978).
5. Kecepatan
Aliran Lateks
Pengamatan
kecepatan aliran lateks dimaksudkan untuk mengetahui pola aliran lateks. Pada
awalnya aliran lateks mengalir cepat, kemudian lambat dan akhirnya berhenti.
Lambat cepatnya aliran lateks sewaktu disadap berpengaruh terhadap tinggi
rendahnya produksi. Semakin cepat dan lama lateks mengalir, maka hasil
lateksnya semakin tinggi. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, ternyata
pola aliran lateks itu berbeda-beda setiap klon. Perbedaan aliran lateks ini memungkinkan
disebabkan oleh banyaknya pembuluh lateks yang terpotong. Selain itu, komposisi
pembuluh lateks juga berbeda. Berdasarkan hasil itu maka pola aliran lateks
berbeda untuk setiap klon sehingga hasil juga berbeda (Boerhendy, 1988).
Subronto
dan Harris (1977), menyatakan bahwa kecepatan aliran akan menggambarkan aliran
lateks per satuan waktu per panjang alur sadap yang dilalui. Kecepatan aliran
lateks berkorelasi positif dengan produksi.
d. Pengumpulan Lateks
di Kebun
Untuk mendapatkan hasil olah karet yang
bermutu baik, syarat yang harus dipenuhi adalah tingkat kebersihan lateks dan
penanganan pengumpulan lateks hasil penyadapan di kebun (Cahyono, 2010)
Selain dari kemungkinan terjadinya
pengotoran lateks oleh kotoran-kotoran yang kelak sukar dihilangkan,
kotoran-kotoran tersebut dapat pula menyebabkan terjadinya prakoagulasi dan
terbentuknya lump sebelum lateks sampai di pabrik untuk diolah. Pengumpulan
lateks dilaksanakan 3-4 jam setelah penyadapan dilakukan. Tetapi pada
pohon-pohon yang aliran lateksnya lambat berhenti (late drops) dapat dilakukan pengumpulan
kedua.
Sedapat mungkin harus diusahakan semua lateks
dapat diangkut ke pabrik pusat, agar dapat dilakukan pencampuran lateks dari
semua bagian kebun dalam satu atau beberapa bak pencampur di pabrik, sehingga
dapat diharapkan hasil yang seragam. Jika keadaan tempat memaksa untuk
dilakukan koagulasi dikebun, jumlah lateks yang dikoagulasi sedapat mungkin
harus dibatasi. Cara terakhir ini dilaksanakan kalau lateks akan diolah menjadi
crepe atau karet remah, sedangkan kalau akan diolah menjadi sheet, proses koagulasi harus dilaksanakan di
pabrik (Setyamidjaja, 1993).
Mikroba mempunyai sifat dapat
menyesuaikan diri pada lingkungan hidupnya, sehingga pada lateks kebun walaupun
telah diberi bahan pengawet amonia bila tertunda terlalu lama di TPH (Tempat
Pengumpulan Hasil) kebun, mutunya dapat menurun. Berdasarkan hasil penelitian
yang telah dilakukan memperlihatkan bahwa dengan dosis ammonia 0,30% di TPH
kebun setelah penyimpanan 5 jam jumlah mikroba
masih sekitar 2 x 103 sel/ml lateks dan setelah 15 jam terjadi peningkatan
jumlah mikroba menjadi 2 x 107 sel/ml lateks dan kemudian setelah penyimpanan
25 jam lateks kebun tersebut telah mengalami prakoagulasi. Oleh karena itu
diharapkan lateks kebun telah terkumpul di tangki penerima pabrik paling lambat
10 jam setelah penyadapan (Ompusunggu, 1991).
Sarana transportasi, baik jalan atau
kendaraan, yang buruk akan menambah frekuensi terjadinya prakoagulasi. Jalan
yang buruk atau angkutan yang berguncang-guncang mengakibatkan lateks yang diangkut
terkocok-kocok secara kuat sehingga merusak kestabilan koloidal. Jarak yang
jauh yang menyebabkan lateks baru tiba di tempat pengolahan pada siang hari dan
sempat terkena terik matahari di perjalanan juga dapat menyebabkan terjadinya
prakoagulasi (Anonim, 1999).
D.
Penyadapan
Pemungutan hasil tanaman karet disebut
penyadapan karet. Penyadapan karet (menderes, menorah, tapping) adalah mata rantai pertama dalam
proses produksi karet. Penyadapan dilaksanakan dikebun produksi dengan menyayat
atau mengiris kulit batang dengan cara tertentu, dengan maksud untuk memperoleh lateks atau getah. Kulit
batang yang disadap adalah modal utama untuk berproduksinya tanaman karet.
Kesalahan dalam penyadapan akan membawa akibat yang merugikan baik bagi pohon
itu sendiri maupun bagi produksinya.
Pada tanaman muda, penyadapan umumnya
telah dimulai pada umur 5-6 tahun, tergantung pada kesuburan pertumbuhannya.
Penyadapan pada tanaman muda, sebelum sadapan rutin berjalan, terlebih dahulu
melakukan bukaan sadapan yang merupakan saat pertama dimulainya penyadapan pada
tanaman yang telah memenuhi syarat untuk disadap.
Gambar
2. 2 Penyadapan tanaman karet
Tanaman karet
merupakan tanaman yang
menghasilkan getah. Tanaman
ini dipanen dengan cara
disadap, yaitu menyayat
atau mengiris kulit
batang dengan cara tertentu, dengan maksud untuk memperoleh
lateks atau getah.kulit batang yang disadap adalah modal utama berproduksinya
tanaman karet. Kesalahan dalam penyadapan akan membawa akibat
yang sangat merugikan
baik bagi pohon
itu sendiri maupun
bagi produksinya.
Kesalahan
dalam penyadapan, seperti pemborosan pemakaian kulit dan kerusakan kulit dan
lain-lain akan berdampak
pada pemendekan umur
ekonomis tanaman, penurunan produksi
sehingga mengakibatkan kerugian
perusahaan.
Syarat-syarat
penyadapan yang baik :
1. Dapat
memberikan hasil karet kering yang
tinggi baik per pohon maupun per hektar
2. Hemat
dalam penggunaan kulit
3. Mudah
dilaksanakan dan efisien tenaga serta biaya
4. Mempertimbangkan kesehatan
tanaman dan stabilitas
produktivitas dalam jangka
panjang
Komposisi umur
tanaman menghasilkan karet
yang standart (25
tahun sadengan sifat produksinya
sebagai berikut :
Table 2.1 Komposisi Umur TM Dengan Sifat
Produksinya
Umur Tanaman (tahun)
|
Kelas
|
Standart Luas (%)
|
Sifat Produksi
|
6 – 12 tahun
|
Taruna
|
23
|
Belum potensi
|
13 – 18 tahun
|
Muda
|
20
|
Potensial
|
19 – 23 tahun
|
Dewasa
|
17
|
Sangat potensial
|
24 – 27 tahun
|
Tua
|
13
|
Kurang potensial
|
>27 tahun
|
Tua renta
|
10
|
Tidak potensial
|
Sumber : Pedoman Budidaya Pengelolaan
Karet (1997)
·
Macam
Sadapan
Berdasarkan cara dan
arah penyadapan, maka sadapan karet dibedakan menjadi 5 macam, yaitu :
a. Sadap
tusuk (Puncture Tapping)
b. Sadap
ke arah bawah (Down Ward Tapping)
c. Sadap
ke arah atas (Up Ward Tapping), sadap ke arah atas biasa dan sadap ke arah atas
ATS (Alternate Tapping Sistem)
d. Sadap
kombinasi arah atas dan bawah bersamaan
e. Sadap
mati/cacah runcah (CCRC)
·
Pola
Dasar Sadapan
Kriteria Matang Sadap
Tanaman karet dapat
disadap apabila telah memenuhi kriteria matang sadap, yaitu :
a. Umur
5 – 6 tahun
b. Lilit
batang pada ketinggian 100 cm dari pertautan okulasi minimal 45 cm
c. Jumlah
tanaman karet dalam 1 blok/areal tanaman yang sama dengan lilit batang minimal 45 cm telah mancapai minimal
60% dari populasi
d. Ketebalan
kulit pada ketinggian 100 cm untuk daerah subur telah mencapai 7 mm, sedang
daerah kurang subur telah mencapai 6 mm.
Persiapan TM 1
a. Pengukuran
lilit batang
Pengukuran lilit
batang dilakukan pada ketinggian 100 cm
dari pertautan okulasi pada setiap
pohon, dengan tujuan
untuk menginventarisasi jumlah
pohon yang lilit batangnya telah
memenuhi criteria matang
sadap. Pengukuran lilit
batang terakhir dilakukan pada bulan
Agustus.
Pada pohon yang
lilit batangnya mencapai 45 cm atau lebih diberi tanda 2 totolan dan 35 – 45
diberi tanda 1 totolan. Pemberian tanda totolan pada ketinggian 150 cm dari
pertautan okulasi dengan menghadap ke arah jalan.
Gambar 2.3 Lilit batang tanaman karet
b. Waktu
buka sadap baru
Pelaksanaan buda
sadapan pertama dilakukan
pada bulan oktober,
yaitu saat setelah lewat masa
gugur daun.
c. Pembagian
hanca
Pembagian hanca
pada tanaman TM 1 dilaksanakan pada akhir masa TBM dengan cara sebagai berikut
:
1) Lilit
batang 35 cm keatas dihitung sampai dengan jumlah 500 pohon
2) Setiap hanca
disisipkan 500 pohon
walaupun pada kenyataannya
yang disadap kurang dari
500 pohon. Akan
tetapi pada akhir
TM 1 yang
disadap akan mencapai 500 pohon
dengna pertimbangan agar tidak selalu merubah hanca.
3) Setiap
batas hanca diberi tanda gelang 5 cm, ketinggian dari tanah 2m
4) Setiap setengah
hanca diberi warna
merah dan setengah
hanca selebihnya deberi gelang
warna putih
5) Nama penyadap
agar dipasang disetiap
blok hanca untuk
memudahkan control
·
Rumus
Sadapan
a. Symbol
sadapan
S (Spiral) = keratin sadapan sepanjang 1 spiral
dengan susut 400
D (Day) = hari, menunjukkan hari sadap
b. Pedoman
½
S = angka pertama di depan S menunjukkan
jumlah atau panjang keratan
D3 = angka di belakang D menunjukkan hari
sadap (rotasi sadap)
↓ = tanda panah menunjukka arah sadapan
Contoh
: ½ S↓d3
Artinya :
satu irisan sadap
dengan panjang ½
spiral, satu hari
sadap dua hari istirahat (disadap 3 hari sekali).
·
Intensitas
Sadap
a. Menunjukkan
tingkat kekuatan/beban sadapan dan dinyatakan dalam %
b. Sebagai
tolok ukur intensitas sadap sesuai kesepakatan bersama untuk 1SD1 = 400%
c. Pedoman
pada sadapan dengan ½ SD2 yaitu disadap 2 hari sekali, intensitasnya ½ x ½ x
400% = 100%.
·
Waktu
Penyadapan
Semakin pagi
pelaksanaan penyadapan, produksi
yang dihasilkan makin
tinggi karena tekanan turgor tanaman masih tinggi. Perlu dipertimbangkan
tentang :
a. Keahlian
penyadap, menyadap pada keadan gelap lebih mudah terkena kayu
b. Kesehatan
penyadap
c. Penyadap yang
mengadap terlalu pagi
serta dalam suasana
yang lembab, kemungkinan terserang
penyakit lebih besar.
Waktu
penyadapan dimulai dan
dapat diselesaikan sepagi mungkin
(disesusikan dengan kondisi
iklim/musim). Keluarnya lateks ipengaruhi
oleh tekanan sel
pembuluh lateks dan
sel-sel parenkim disekitar pembuluh lateks. Tekanan turgor ini
dipengaruhi oleh suhu udara.
·
Pelaksanaan
Buka Sadap Baru
a. Irisan
sadap pertama dimulai dari batas 1 cm diatas garis sadap paling atas dengan
kedalaman sadap 4,5 mm dari cambium
b. Sadapan
diteruskan scara bertahap sampai mencapai garis sadap teratas (dilakukan
sebanyak ±5 kali)
dengan kedalaman 1,5 mm dari
kambium dan sudah
menghasilkan lateks
c. Diupayakan agar
kedudukan pisau sadap
pada panel sadap
telah tepat untuk menghindari luka kayu.
III.
KESIMPULAN
1. Kulit
batang karet pada batang pohon yang telah matang sadap dari luar menuju kedalam
kearah kambium tersusun dengan urutan sebagai berikut :
·
Kulit gabus, yang merupakan lapisan
paling luar dari batang
·
Kulit keras yang terdiri atas sel-sel
batu parensim, pembuluh tapis, dan saluran lateks yang tidak teratur
·
Kulit lembut dimana terdapat
saluran-saluran lateks dan
·
Kambium.
2. Rumus
sadapan
·
Symbol sadapan
S (Spiral) = keratin sadapan sepanjang 1 spiral
dengan susut 400
D (Day) = hari, menunjukkan hari sadap
·
Pedoman
½
S = angka pertama di depan S menunjukkan
jumlah atau panjang keratan
D3 = angka di belakang D menunjukkan hari
sadap (rotasi sadap)
↓ = tanda panah menunjukka arah sadapan
Contoh
: ½ S↓d3
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 1999.
Panduan Lengkap Karet. Penebar
Swadaya, Jakarta.
Anwar. 2006. Manajemen dan Teknologi Budidaya Karet. Pusat
Penelitian Karet. Medan.
Boerhendy,
1988. Efek Okulasi Tajuk terhadap
Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Karet. Universitas Jambi Press. Jambi
Cahyono, 2010. Karet. Medan: Fakultas Matematika
dan Ilmu Pengetahuan Alam- Universitas Sumatera Utara.
Depertemen
Pertanian, 2007. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Karet. Edisi ke 2. Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta.
Dijkman M. J.
1951. Hevea. Thirty Years of Research
in the Far East. University of
Miami Pr. Florida. 329 p.
Direktorat
Perlindungan Perkebunan. 2003. Pedoman
Pengamatan dan Pengendalian OPT Karet. Direktorat Jenderal Bina Produksi
Perkebunan. Departemen Pertanian. Jakarta..
Lukman, 1984. Penyadapan
dan Stimulasi Tanaman Karet. Medan : BPP.
Marsono dan
Sigit, 2005. Karet. Penebar Swadaya.
Jakarta
Rasjidin,
1989. Bercocok Tanam Karet. Penebar
Swadaya. Jakarta
Semangun,
2000. Penyakit-Penyakit Tanaman
Perkebunan di Indonesia. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Semoiraya,
2010. Budidaya Karet. http://semoiraya.com/article/26214/budidaya-karet.html. Diakses pada 8 Oktober 2014
Setyamidjaja, 1993.. Karet budidaya dan Pengolahan.
Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
Tim Penulis. 1999. Karet. Jakarta. Penerbit Swadaya
Tim Penulis PS.
2011. Panduan Lengkap Karet. Jakarta Penebar Swadaya
Andriansyah
Southorn,
1961. Micropy of Havea Lateks. Illinois
University Press
Southorn dan
Yip, 1968. Some physiologial properties of latex from anther somatic plants
derived from two hevea clones. In: Physiology
& Exploitation of Hevea
brasiliensis. Proceeding of
IRRDB Symposium. Kunming China,
6-7 October 1990. The
International Rubber Research
& Develop-ment Board. p.
14-19.
Subronto dan
Napitupulu. 1978. Pengujian Klon Karet.
Bentang Pustaka. Medan
Webster dan
Baulkwill, 1989.The Agronomy of the Major Tropical Crops. New York :
Oxford University Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar